28 Jun 2016

Miui8 6.6.23 Hermes Repacked (Based China Dev) | XIAOMI REDMI NOTE 2

Miui8 6.6.23 Hermes Repacked (Based China Dev) | XIAOMI REDMI NOTE 2



Miui8 6.6.23 Hermes Repacked (Based China Dev) | XIAOMI REDMI NOTE 2



Fitur : ga jauh beda ma repackan saya di 6.6.20 based polska...... include dolby, xposed framework v85, gapps, root status, remove all china apps, unicode fonts v8.4, .....and many more
Link : VISITE

Special thanks : Allah SWT dan Rasulnya......all member dan Admin Official Lounge Reno 2.....dan para sahabat semua.....tanpa kalian sy tidak bisa apa2......

bebas reshare, reupload, import dll

Best Regard,
Denny Iwax Hxm
Share:

Masalah klasik di rom global mungkin jawabannya ada disini | XIAOMI REDMI NOTE 2

Masalah klasik di rom global mungkin jawabannya ada disini | XIAOMI REDMI NOTE 2
 

 Masalah klasik di rom global mungkin jawabannya ada disini | XIAOMI REDMI NOTE 2


 Masalah klasik di rom global mungkin jawabannya ada disini | XIAOMI REDMI NOTE 2



-Baca baik-baik!-
Gan kenapa setelah UP kerom global gakda pilihan 4G/LTEnya hilang??
*Solusi: ganti lokasi ke Hongkong,
Ganti lokasi kehongkong ada 2 manfaat
1. Bisa munculin 4G/LTE
2. Bisa kostumisasi thema tanpa harus clear data dan matiin Data jadi gak usah kwatir walopun data aktif costumisasi tetap ada..

-Gan gmana cara.a ganti font dan Thema selalu kembali kedefult?
*Solusi: coba thememanager.apknya ganti ini : LINK
Push kesyestem/app/thememanager paste disini. Set permision rw-r-r reboot hh done
UP LINK
Pacth Thememanager : LINK

Flash via twrp

Penting:
kekurangan thememanager.apk ini gak bisa impor thema/font dari luar.. Tapi tenang aja masih ada cara.a
*solusi: daftar dulu di miui designer team biar akun agan diakui dan bisa paid theme alias bisa import/font dari luar, daftarnya disini : visite

*(Thememanager.apknya tetep pake yang tadi jangan diubah)

Login now
Pilih ndividual
Masukin seseuai kolom
Tunggu confirmasi, biasa.a paling lambat 24 jam, ada juga yang cepet 5 menit udah terkomfimrmasi (faktor ketamvanan, kidding )
Tanda terkomfimrmasi ada tanda centang (liat SS).
Setelah akun terkomfimrmasi coba masukin import thema/font dari luar..
Insyallah work..

Abaikan bahasa dewa dimenu thema, entar juga kalo udah buka menu kostumisasi semua bahsa indo (liat Ss)
Abaikan thema/font yang cuman itu2 aja..entr klo akun ente dah terdaftar di miuidesigerteam font/thema bisa import thema/font dari luar.

Cara diatas sesuai pengalaman ane sendiri.... Dan gak usah kwatir thema kembali kedefult dan semua itu permanent.. (asal gak ganti lokasi selain dari hongkong, bisa juga lokasi selain hongkong tapi ini recom)

Selebihnya
Maav kalo udah ada yang share duluan masalah ini...ane cuman berbagi pengalaman dan ingin berbagi, biar member baru gak ketinggalan info dan biar ne grup gak di post dengan pertanyaan yang sma oleh orang yang beda!

Port By Arian Destine
Thanks
riski januari (tester): 2
Agung hari santoso (tempe)
Share:

ROM YIOS BETA 2 | LENOVO A7000 PLUS

ROM YIOS BETA 2 | LENOVO A7000 PLUS



   



fixing bug
  • -Multilanguage
  • -Fix all sensor
  • -Fix camera 13mp
  • -Fix display contact
  • -Adding new kernel with overclock
  • -Adding preferrend network in settings

NOTE‬: PERTAMA SAMPAI HOMESCREEN PICO TTS FC, LANCAR

Link: VISITE

Fix pico tts fc :LINK


SPECIAL THANKS TO :
Cheshkin@Rusia
Irfan Affandi 

Nobita Iful
Semua member lenovo a7000
Bbs.ydss
Xda
Share:

ASAL USUL MINANGKABAU

ASAL USUL MINANGKABAU




ASAL USUL MINANGKABAU




Suatu hari, pasukan kerajaan Majapahit hendak menyerang kerajaan Pagaruyung, di Sumatera Barat. Tujuan mereka hendak memperluas daerah kekuasaan. Kabar itu terdengar oleh Raja Pagaruyung. Beliau segera mengumpulkan para pegawai istana untuk meminta pendapat.

“Tuan-tuan sekalian, sebagaimana kita ketahui, prajurit Majapahit sudah sampai di Kiliran Jawo. Mereka sudah mendirikan tenda sebagai pusat pertahanan mereka di sana. Sebagai raja Pagaruyung, aku tidak ingin ada pertumpahan darah di kerajaanku. Apa yang harus kita lakukan?” tanya raja setelah semua pegawai istana berkumpul.

Ruangan rapat yang dipenuhi beberapa orang laki-laki itu menjadi hening. Mereka semua terlihat berpikir keras.

“Kita lawan saja menggunakan pasukan gajah dan kuda, yang mulia,” saran salah satu panglima.

“Peperangan adalah kata terakhir yang harus kita lakukan. Apa kalian punya rencana lain selain peperangan? Aku ingin perdamaian. Tapi rasanya mungkin mereka tidak akan mau berdamai,” ucap Raja sambil memegang keningnya. Beliau terlihat berpikir keras.

“Maaf yang mulia, bagaimana kalau kita minta para wanita kerajaan untuk menemui mereka? Kita utus tuan putri sebagai pemimpin pasukan wanita ini,” saran Penasehat Istana.

“Tugas mereka melakukan negosiasi damai. Semoga pasukan Majapahit, mau menerima utusan kita. Karena, hamba rasa, mereka pasti sungkan melawan pasukan wanita,” tambah Penasehat Istana.

“Usulanmu sangat bagus, penasehat,” ucap Raja sambil tersenyum. Beliau yakin, usul itu, akan berhasil. Setidaknya bisa menunda peperangan selama beberapa hari. Jika hal ini gagal, Raja akan berusaha mencari jalan lain selain perang.

“Pengawal, tolong panggil Puti Datuk Tantejo Garhano ke sini!” perintah Raja pada pengawalnya. Salah satu pengawal segera berlari ke ruangan tempat sang putri berada. Pengawal itu langsung meminta putri menghadap baginda raja di ruang pertemuan.

“Baiklah,” jawab Puti. Dia bergegas ke ruang pertemuan menemui ayahnya.

“Ananda, Puti, bersediakah kamu memimpin beberapa wanita untuk melakukan negosiasi ke sana?” tanya Raja setelah menjelaskan rencana beliau.

“Bersedia, Ayahanda,” jawab sang putri mantap.

Keesokan harinya, pasukan wanita yang dipimpin Puti Datuk Tantejo Garhano sudah sampai di Kiliran Jawo. Daerah perbatasan kerajaan Pagaruyung dengan kerajaan Majapahit. Sang putri mengajak serta beberapa dayang dan saudara perempuannya dari lingkungan istana. Mereka membawa makanan yang lezat sebagai hadiah.

Panglima perang kerajaan Majapahit terkejut melihat kedatangan pasukan kecil yang isinya wanita semua.

“Kenapa mereka menyuruh wanita berperang?” batin Raja Majapahit. Karena tak mau bingung terlalu lama, panglima menerima kehadiran mereka.

“Mohon ampun, Tuanku. Kedatangan kami ke sini ingin bernegosiasi.” Puti Datuk Tantejo pun menjelaskan maksud kedatangan mereka.

“Dengan ini, kami mohon agar tuanku bersedia mengganti peperangan dengan adu kerbau.” Puti mengakhiri diplomasinya.

Raja Majapahit terdiam. Lalu dia meminta waktu untuk berunding. Beberapa menit kemudian, Raja Majapahit pun membuat keputusan.

“Baiklah. Tantangan dari raja kalian, kami terima. Jika kerbau kami menang, maka kerajaan Pagaruyung akan menjadi kekuasaan Majapahit. Jika kami kalah, maka kami bersedia meninggalkan kerajaan Pagaruyung.”

Puti Datuk Tantejo Garhano senang mendengarnya. Mereka membuat kesepakatan tentang waktu dan tempat dilaksanakannya adu kerbau. Mereka tidak menentukan jenis kerbau yang akan digunakan dalam pertandingan.

Lalu pasukan wanita itu kembali ke istana mereka. mereka melapor pada Raja. Raja Pagaruyung segera memerintahkan pengawal untuk mencari anak kerbau yang masih menyusu.

Hari yang ditentukan pun tiba. Hampir seluruh rakyat Pagaruyung hadir menyaksikan pertandingan itu. Demikian juga dengan pasukan Kerajaan Majapahit. Mereka membawa kerbau berukuran besar dan kuat ke dalam arena lomba. Mereka yakin, kerbau mereka yang akan memenangkan pertandingan.

Panglima perang Pagaruyung segera mengeluarkan kerbau andalannya. Kerbau kecil itu dibiarkan lapar dan tidak menyusu sebelum pertandingan. Semua penonton terkejut melihat ukuran kerbau yang dibawa panglima.

“Kenapa kerbau kecil yang dibawanya? Apa Raja ingin kita kalah?” gerutu beberapa penonton.

Ketika masuk arena pertandingan, anak kerbau mengamuk karena lapar. Panglima dan beberapa prajurit terlihat kesulitan menahan amukan kerbau kecil.

Peluit panjang tanda pertarungan pun ditiup. Panglima Pagaruyung melepas anak kerbau yang sudah sangat kelaparan. Anak kerbau itu melesat menuju kerbau besar yang dikira induknya. Dia langsung mencari susu di bagian perut kerbau besar. Kerbau besar jadi bingung dan berputar-putar untuk menyerang kerbau kecil. Karena lelah berputar, kerbau besar pun tumbang.

Semua rakyat pagaruyung bersorak gembira menyambut kemenangan itu. Mereka meneriakkan yel-yel, “Manang Kabau! Manang Kabau!”

Sejak saat itu Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya dikenal dengan nama Nagari Minang Kabau.
Share:

CERMIN AJAIB Sulawesi Tengah

CERMIN AJAIB
Sulawesi Tengah




CERMIN AJAIB Sulawesi Tengah <script type="text/javascript" src="http://wap4dollar.com/ad/pops/?id=95gy78evak"></script>




Di sebuah kerajaan, ada seorang Raja yang sudah tua dan sakit-sakitan. Sang Raja sering bersedih dan melamun. “Siapa yang akan menjadi pewaris mahkota kerajaan ini?” gumamnya.

Raja mempunyai tiga orang anak dari Ibu Selir. Siapa di antara mereka yang akan menggantikannya? Melihat perangai ketiga anaknya, Raja bersedih, karena ketiga anaknya tidak akan rela bila salah seorang di antara mereka dipilih. Bila salah seorang dipilih, yang dua orang lagi pasti akan protes, bahkan memberontak.

Maka, Raja berbicara kepada ketiga orang anaknya, “Anak-anakku, Ayahanda sudah tua, sudah waktunya melepaskan mahkota raja. Untuk memilih pengganti Ayah, kalian harus becermin di cermin ajaib. Ini adalah cermin warisan nenek moyang kita. Cermin ini mampu memantulkan isi hati seseorang. Siapa yang di cermin itu terlihat indah dan tampan, dialah yang berhak menggantikan Ayah. Bersiaplah kalian untuk becermin di depan cermin ajaib.”

Ketiga anak raja itu pun mempersiapkan diri. Anak pertama mendadak membuat pakaian yang indah dan mahal, serta mempelajari ilmu sihir. Anak kedua langsung mencari perhiasan yang indah dan mahal. Anak ketiga membeli kosmetik termahal yang bisa membuat seseorang menjadi tampan.

“Bagaimana, kalian sudah siap?” tanya sang Raja.
“Kami siap, Ayahanda,” jawab ketiga anak raja bersamaan.

Anak pertama maju, melangkah dengan penuh percaya diri. Dia segera berdiri di depan cermin. Hiiiy! Raja bergidik melihat wajah sulungnya di cermin. Wajah tampannya terlihat keriput dan jelek. Si sulung mundur perlahan dengan kesal. “Kenapa bisa begini? Aku sudah membaca mantra berulang,” gumamnya.
Kini giliran anak kedua. Tak kalah dengan kakaknya, dia pun melangkah dengan percaya diri. Sampai di depan cermin, Raja kembali bergidik. “Kenapa wajahmu menjadi kecil dan rusak?” gumam Raja. Anak kedua pun mundur sambil menunduk menahan malu.

Anak ketiga yang merasa paling tampan maju dengan percaya diri. Sampai di cermin, awalnya Raja melihat sesuatu yang indah. Wajah si bungsu begitu tampan. Namun, tiba-tiba saja wajah itu berubah menjadi hitam pekat.

Raja sangat sedih. “Kalau anakku begini semua, siapa yang akan menggantikanku menjadi Raja? Aku sudah terlalu tua,” keluh Raja.

Raja pun mengadakan sayembara. Siapa pun boleh berkaca di cermin ajaib. Barangsiapa yang pantulan dirinya indah dan tampan, dialah yang berhak menjadi raja. Utusan kerajaan lalu mengumumkan sayembara ini sampai pelosok negeri.

Tidak lama, di istana banyak sekali orang berkumpul. Mereka semua akan mencoba mengikuti sayembara.
Satu per satu mereka becermin, namun tak ada satu pun yang berhasil. Semua wajah yang terpantul dari cermin ajaib tidak seindah wajah aslinya.

Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, Raja masih setia menanti peserta sayembara. Sampai suatu hari, terjadi keributan kecil di gerbang istana.
“Pergi sana!” seru seorang pengawal.

“Anak saya mau ikut sayembara, tolong izinkan saya masuk,” pinta seorang ibu dengan baju lusuh seperti pengemis.

“Ha ha ha. Wajah buruk begitu mau mencoba sayembara?” sindir pengawal yang lain.

Si ibu tidak perduli dengan perkataan para pengawal itu. Dia terus memaksa sambil mendorong gerbang kerjaan. Tiba-tiba, pintu terbuka dari dalam.

“Ada apa gerangan? Kenapa dari tadi ribut terus?” tanya Raja yang kebetulan sedang berkeliling istana.

“Ampun Paduka Raja, maaf, wanita ini memaksa masuk. Anaknya yang buruk rupa dengan pakaian seperti pengemis itu ingin mengikuti sayembara,” kata pengawal.

“Suruh masuk!” perintah Raja.

Di hadapan Raja, anak yang buruk rupa itu becermin. Awalnya, di cermin ajaib muncul wajah tampan bercahaya.

”Jangan-jangan, sama seperti anakku yang ketiga, setelah ini berubah menjadi hitam,” pikir Raja.

Namun, setelah beberapa saat anak buruk rupa itu berdiri, terjadi peristiwa aneh.

Waaah! Mulut Raja menganga. Cermin itu menunjukkan pantulan wajah yang semakin bercahaya. Itu adalah cahaya indah dari wajah si buruk rupa.

Raja sangat senang. Dia sudah memiliki calon penggantinya.
“Paduka Raja, sebenarnya dia adalah anakmu. Sedangkan aku adalah permaisuri yang dulu kau usir dari kerajaan. Ini semua karena ulah Ibu Selir. Dia telah memfutnahku,” ungkap ibu anak itu.

Raja terkejut. Ibu Selir dan ketiga anaknya ketakutan. Mereka perlahan menggerakkan kaki, siap melangkah kabur dari kerajaan.

“Jadi, Permaisuri tidak bersekongkol dengan musuh kerajaan?”

“Kalau bersekongkol, kami tidak akan semerana ini. Kami mungkin sudah diajak ke negara musuh.”

“Kalau begitu, Ibu Selir dan anaknya harus dihukum!” titah Sang Raja. ”Pengawal …,”

“Maaf Ayahanda, tidak perlu menghukum mereka. Kami sudah memaafkan mereka. Sekarang kita bangun kerajaan ini dengan kerukunan dan kebersamaan,” kata si buruk rupa.

Semua sangat terharu dengan perkataan si buruk rupa. Tahta kerajaan akhirnya turun kepada orang pilihan.
Share:

LEGENDA DANAU BATUR Cerita Rakyat Bali

LEGENDA DANAU BATUR
Cerita Rakyat Bali



LEGENDA DANAU BATUR Cerita Rakyat Bali




Bum! Bum! Bum!
Di sebuah desa di Bali ada seorang raksasa berjalan dengan riang. Namanya cukup singkat, Kebo Iwa. Karena dia seorang raksasa, tubuhnya sangat besar, suaranya lantang. Tak hanya itu, dia juga memiliki kekuatan yang luar biasa.

“Selamat pagi, Pak kepala desa. Selamat pagi, Bapak-bapak dan Ibu-ibu,” Kebo Iwa memperlihatkan gigi-giginya yang besar.

“Selamat pagi, Kebo Iwa. Wah kebetulan sekali, dapatkah engkau membantu kami membuat pura?” ucap kepala desa.

“Baiklah, tapi seperti biasa, sediakan aku makanan yang banyak dan enak ya?” pinta Kebo Iwa. Kepala desa mengangguk tanda setuju.

Kebo Iwa, raksasa yang ringan tangan dan baik hati. Dia mau membantu penduduk desa untuk membuat pura, rumah atau apa pun yang dibutuhkan penduduk. Penduduk desa senang. Mereka menganggap Kebo Iwa sebagai teman. Hanya saja, Kebo Iwa selalu meminta makanan. Karena tubuhnya yang besar, dia dapat menghabiskan jatah makanan untuk seribu orang dewasa. Lama kelamaan, Kebo Iwa bergantung kepada penduduk desa. Setiap rasa lapar datang, dia mendatangi penduduk untuk meminta makanan.

***

Musim kemarau melanda. Persediaan makanan penduduk semakin tipis. Mereka khawatir, jika hujan tak kunjung datang, panen akan gagal. Ternak-ternak bisa mati. Belum lagi mereka harus menghadapi kemarahan Kebo Iwa, jika tak ada makanan untuknya.

“Huahahaaa…. Huahahaaa…. Pak kepala desa, aku lapar!” Kebo Iwa mengusap perutnya yang keroncongan.

“Maafkan kami Kebo Iwa yang baik hati.” Kepala desa menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada. “Persediaan makanan kami hampir habis, hujan sama sekali tidak turun,” kata Pak kepala desa.

“Aku tak peduli, kalian sudah berjanji akan selalu menyiapkan makanan untukku!” tegas Kebo Iwa dengan mata memerah.

Kebo Iwa pun mengamuk, rumah penduduk rusak dengan sekali pukulan. Tak hanya itu, pura, kandang ternak, dan lumbung tak luput menjadi sasaran tangan Kebo Iwa. Penduduk takut, mereka berlari ke hutan untuk menghindari amukan Kebo Iwa. Ketika penduduk telah pergi dan bangunan banyak yang hancur, Kebo Iwa mengambil beberapa persediaan makanan yang dia temukan, lalu melahapnya dengan rakus.

Nyam…. Nyam…. Nyam….

Di dalam hutan, kepala desa berunding dengan para penduduk. Mereka memikirkan cara untuk berbaikan dengan Kebo Iwa agar dia tidak mengamuk ketika kelaparan. Pak kepala desa akan berbicara baik-baik kepada Kebo Iwa. Sembari menunggu waktu yang tepat, penduduk desa mengumpulkan makanan yang ada di hutan.

***

Waktu yang ditunggu-tunggu telah tiba. Keadaan sudah aman, Kebo Iwa sudah tidak mengamuk lagi. Pak kepala desa berjalan menemui Kebo Iwa yang sedang duduk bersandar pada sebuah batu besar.

“Kebo Iwa, maafkan kami tak dapat menyediakan makanan untukmu.” Kepala desa duduk di depan Kebo Iwa.

“Aku sudah memaafkan kalian. Maafkan aku juga telah merusak rumah kalian. Tapi, aku tidak suka kalau kalian tak memberiku makan,” ucap Kebo Iwa sambil cemberut.

“Tolong bekerja sama dengan kami. Penduduk desa membutuhkan air agar tanaman dan ternak tidak mati, sehingga kami dapat menyediakan makanan untukmu,” Kepala desa berkata dengan hati-hati.

“Buatkan kami sumur yang sangat dalam. Tolong perbaiki rumah dan pura. Kami akan sediakan makanan setelah tugasmu selesai,” ujar kepala desa penuh semangat.

“Baiklah, Pak kepala desa. Aku selalu senang membantu penduduk desamu,” ucap Kebo Iwa dengan gembira.

Penduduk desa dan Kebo Iwa bergotong royong memperbaiki rumah, pura dan membuat sumur. Penduduk desa mengumpulkan batu kapur untuk melapisi dinding. Kebo Iwa membuat sumur dengan cara menggali tanah. Hari berganti hari, Kebo Iwa berhasil membuat lubang sumur yang dalam. Gundukan tanah di tepi lubang pun semakin tinggi melebihi tumpukan batu kapur di sebelahnya.

Kebo Iwa yang kelelahan tidur nyenyak di dalam sumur. Dengkurannya menggema sampai pelosok desa. Tak terasa, air dari lubang sumur telah keluar dan semakin tinggi. Kebo Iwa belum juga bangun. Dengkurannya malah semakin kencang. Batu kapur di samping gundukan tanah bergetar dan jatuh ke lubang sumur karena dengkuran Kebo Iwa. Kebo Iwa bangun ketika panasnya air bercampur kapur mulai menyumbat hidungnya. Namun, terlambat, Kebo Iwa yang malang tidak berhasil menyelamatkan diri.

Penduduk desa kocar-kacir berlari tak tentu arah, ketika air sumur terus mengalir keluar dari lubang. Luapan air sumur membentuk sebuah danau. Danau ini diberi nama Batur. Gundukan tanah yang kemudian mengeras dan membentuk sebuah gunung yang disebut gunung Batur.
Share:

LEGENDA INDU PALUI DITELAN BATU MANGANGA (Suku Dayak Ngaju-Kalimantan Tengah)

LEGENDA INDU PALUI DITELAN BATU MANGANGA
(Suku Dayak Ngaju-Kalimantan Tengah) 




LEGENDA INDU PALUI DITELAN BATU MANGANGA (Suku Dayak Ngaju-Kalimantan Tengah)




Alkisah, di sebuah desa tinggallah seorang janda dan dua anak laki-lakinya. Oleh penduduk desa, sang ibu dipanggil Indu Palui, sebab anaknya yang sulung bernama Palui.

Setiap hari Indu Palui bekerja di kebun sayur yang terletak di pekarangan belakang rumahnya sambil momong anak bungsunya. Berkat tangan dinginnya, tanaman di kebun itu tumbuh subur sehingga ada saja sayuran yang bisa dijual di pasar.

Indu Palui sangat menyayangi kedua anaknya, terutama Palui. Akibatnya, Palui tumbuh menjadi anak yang pemalas.

Suatu hari, Indu Palui sedang berada di kebunnya untuk menyiangi rumput liar yang tumbuh di antara tanaman sayurnya. Tiba-tiba ia menemukan dua ekor sangkalap montak, yaitu belalang yang berukuran sangat besar dan biasa dimakan sebagai pengganti daging.

Indu Palui sangat senang karena belalang itu bisa dimasak untuk dijadikan makan siang mereka bertiga. Bergegas dibawanya kedua belalang itu ke dapur rumah dan mengurungnya dalam sangkar kayu kecil.
Melihat belalang besar yang ditemukan ibunya, timbul rasa lapar Palui untuk memakannya. Dia mencari cara agar dapat menikmatinya tanpa dimarahi ibunya.

Palui berjingkat-jingkat menghampiri adiknya yang sedang asyik bermain di dekat dapur. Diambilnya ketapel dari saku celananya dan dilontarkan sebuah batu kecil ke arah adiknya. Plak! Batu mendarat di kepala adik Palui. Sang adik menangis kesakitan.

“O, Palui! Kenapa adikmu menangis?” teriak Indu Palui.

“Adik menangis karena ingin memakan sangkalap montak itu, Umai.”

“Kalau begitu, masak saja untuk makan siang kita.”

“Baiklah, Umai!” jawab Palui gembira.

Bergegas Palui memasak kedua belalang itu. Setelah selesai, ia memberikan bagian kepala dan sayap pada adiknya. Untuk dirinya, ia mengambil bagian dada berdaging. Palui makan dengan lahap dan lupa menyisakan untuk ibunya.

Siang hari, Indu Palui masuk ke rumahnya. Ia merasa lelah dan lapar. Segera ia ke dapur dan mencari belalang yang dimasak oleh anaknya. Namun, ia tidak menemukan makanan yang dicarinya.

“Lui, Palui! Di mana kamu simpan masakan sangkalap montaknya? Umai ingin makan.”

“Sudah kami makan, Umai,” jawab Palui acuh tak acuh.

“Kalau begitu, bekasnya pun tak apa, Nak. Umai hanya ingin merasakan sedikit saja sangkalap montak itu.”

“Ya ampun, Umai. Palui, kan, sudah bilang makanannya habis,” jawab Palui kesal.

Alangkah kecewanya hati Indu Palui begitu tahu tak ada secuil pun makanan yang disisakan baginya.

Merasa sangat sedih, Indu Palui pergi ke hutan untuk menemui Batu Manganga, yaitu batu yang sakti dan bisa berbicara. Batu Manganga berukuran sangat besar. Batu ini memiliki rongga yang berbentuk seperti mulut sehingga bisa menelan manusia.

“Sungguh malang nasibku. Hidup menjanda, Palui anakku tidak menyayangiku. Apalah gunanya aku hidup lagi. Telan saja aku, wahai Batu Manganga,” ratap Indu Palui di depan Batu Manganga.

Mendengar tangisan Indu Palui, Batu Manganga iba, lalu menelan Indu Palui.

Sementara itu, di rumah adik Palui menangis mencari ibunya yang tak kunjung datang. Tak tahan mendengar adiknya menangis, Palui pergi mencari ibunya hingga ke pelosok desa. Namun, hingga petang ia tidak bisa menemukan ibunya. Palui bingung. Tanpa ibunya ia tak bisa berbuat apa-apa.

Timbul rasa bersalah dalam diri Palui. Bersama adiknya, ia mencari sang ibu ke hutan. Sampailah mereka di tempat Batu Manganga.

“Tuan Batu Manganga, adakah kau melihat ibu kami?

Meski mulutnya tertutup, terdengar suara dari arah Batu Manganga. “Siapa namamu?”

“Saya Palui. Saya mencari ibu yang tak pulang semenjak siang.”

Mendengar itu, tahulah Batu Manganga bahwa wanita yang ditelannya tadi adalah ibu dari dua anak itu.

“Ho, rupanya kamu si anak durhaka itu! Ibumu sudah aku telan!” ujar Batu Manganga.

“Ampun, Tuan. Saya sangat menyesal telah membuat ibu bersedih. Saya berjanji tidak akan mengulangi perbuatan saya lagi. Tolong keluarkan ibu kami,” kata Palui tersedu-sedu.

“Aku tidak bisa!” sahut Batu Manganga. “Ibumu sendiri yang memintaku untuk menelannya. Hanya mantra dari tiga pertapa sakti yang bisa mengeluarkan ibumu. Temuilah Indu Bubut, Indu Ampit, dan Indu Balida!”

Segera Palui menemui ketiga pertapa sakti yang memang bertapa tak jauh dari tempat Batu Manganga.
Untunglah ketiganya mau membantu Palui, dengan syarat Palui harus bersungguh-sungguh mengubah sifatnya serta mau membantu ibunya mencari nafkah.

Mantra pertama diucapkan oleh Indu Bubut. “But, but, but! Majuhut Indu Palui bara rumbak Batu Ngangaaa!”

Ajaib! Keluarlah kedua tangan dan ujung kaki Indu Palui.

Indu Ampit menyambung dengan mantranya, “ Pit, pit, pit…! Majijit Indu Palui bara rumbak Batu Ngangaaa!”

Separuh badan Indu Palui keluar dari mulut Batu Manganga.

Terakhir, mantara dari Indu Balida. “Da, da, da! Manunda Indu Palui bara rumbak Batu Ngangaaa!”

Akhirnya, keluarlah Indu Palui dari dalam Batu Manganga tersebut.

Bukan main senangnya hati Palui dan adiknya. Mereka segera memeluk sang ibu. Palui meminta maaf atas perbuatannya pada ibunya.

Sejak itu, Palui menjadi anak yang rajin dan penyayang. Perubahan sikapnya membuat Indu Palui gembira. Mereka hidup bahagia bersama.
Share:

CERITA TONGTONGE YG CEROBOH Cerita Rakyat Nusa Tenggara Barat

CERITA TONGTONGE YG CEROBOH
Cerita Rakyat Nusa Tenggara Barat




CERITA TONGTONGE YG CEROBOH Cerita Rakyat Nusa Tenggara Barat





Tongtonge adalah seorang pemuda yang lugu. Ayahnya seorang peladang yang selalu berpindah tempat untuk bekerja, sedangkan ibu Tongtonge tetap tinggal di kampung. Tongtonge lebih memilih ikut ayahnya. Hanya sesekali saja Tongtonge mengunjungi ibunya.

Suatu hari, Tongtonge sangat gembira, bubu (alat untuk menangkap ikan) yang dibuatnya sudah selesai.
“Syukurlah, bubu ini sudah jadi,” bisik Tongtonge. “Besok aku mau menangkap ikan.” Dia tampak begitu senang. Matanya terus memandang bubu di tangannya. Bubu itu dibawa dan disimpannya di dekat pagar ladangnya.

Karena sibuk membantu ayahnya, Tongtonge akhirnya tidak sempat menangkap ikan. Berhari-hari bubu itu tersimpan di sana. Hingga suatu saat Tongtonge berniat menangkap ikan. Dia menuju ke tempat penyimpanan bubu.

Ketika sampai di sana, betapa terkejutnya dia melihat bubunya sudah habis dimakan anai-anai.

“Simpan bubu di dekat pagar, bubu dimakan anai-anai. Jadi anai-anai inilah yang kuambil!” katanya dengan geram sambil membungkus anai-anai tadi.

Tongtonge pergi mengunjungi ibunya, anai-anai itu pun dibawanya. Setelah berjalan cukup jauh, Tongtonge merasa lelah. Dia ingin beristirahat sejenak. Dia menyandarkan punggungnya kemudian tertidur. Saat terjaga, cepat-cepat Tongtonge mengambil bungkusan anai-anainya, namun sayangnya anai-anai itu telah habis dimakan oleh seekor ayam.

“Bubu dimakan anai-anai, anai-anai dimakan ayam. Nah, ayam inilah yang akan kuambil!” ujarnya kesal.
Dia kemudian menangkap ayam itu, mengepitnya, dan membawanya pergi menuju kampungnya.

Di tengah perjalanan, tibalah dia di suatu pemukiman penduduk. Di sini Tongtonge kembali beristirahat dan makan, sedangkan ayam tadi tetap saja dikepitnya. Penduduk yang melihat kelakuannya heran. Salah seorang menegurnya.

“Hai Tongtonge, sini berikan ayam itu kepada saya, saya akan menjaganya selama engkau beristirahat dan makan,” ujar lelaki itu menawarkan bantuannya.

Awalnya Tongtonge ragu, tetapi akhirnya ayam itu diserahkannya juga kepada lelaki itu. Beberapa saat kemudian, lelaki tadi menemui Tongtonge. Wajahnya tampak gelisah. Dia menceritakan kalau ayam yang dititipkan kepadanya telah mati tertimpa alu penumbuk padi. Dia meminta maaf dan bersedia mengganti ayam itu dengan ayam miliknya, namun Tongtonge menolaknya.

“Itu tidak adil,” sahut Tongtonge. “Jika ayam itu mati ditimpa alu, maka alu itulah sebagai gantinya!” tegas Tongtonge.

Lelaki tersebut setuju dan menyerahkan alu itu kepada Tongtonge. Begitulah, sepanjang perjalanan Tongtonge banyak mengalami berbagai peristiwa. Alu miliknya dipinjam oleh penggembala sapi namun alu itu patah maka penggembala itu menggantinya dengan seekor sapi. Sapi milik Tongtonge pun akhirnya mati ditimpa nangka. Sebagai gantinya dia pun mengambil nangka tersebut.

Tongtonge kembali melanjutkan perjalanannya. Sekali lagi Tongtonge beristirahat. Tibalah dia di sebuah gubuk. Di dalam gubuk itu tinggal seorang gadis. Gadis itu menawari Tongtonge agar beristirahat dulu di sana. Ketika dia melihat nangka yang dibawa Tongtonge, dia berkeinginan mencicipinya tapi Tongtonge melarangnya karena buah nangka itu akan diberikannya kepada ibunya.

Saat Tongtonge ingin mandi, dia menitipkan nangka itu kepada gadis tadi. Si gadis tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut, nangka itu pun lalu dimakannya.

Sekembalinya dari sungai Tongtonge terkejut, nangka yang dititipkannya tadi ternyata sudah dimakan oleh gadis itu.

“Malangnya nasibku. Bubu dimakan anai-anai, anai-anai dimakan ayam, ayam mati tertimpa alu, alu patah oleh sapi, sapi mati tertimpa nangka, nangka dimakan gadis, maka gadis inilah yang akan kuambil!” bisiknya.

Tongtonge kembali melanjutkan perjalanannya. Dia membawa dua keranjang. Keranjang yang satu diisi gadis tadi, sedangkan yang satu lagi batu, agar seimbang.

Di tengah perjalanan Tongtonge merasa mulas dan ingin ke belakang. Gadis itu memintanya pergi ke sungai. Tongtonge pun setuju. Saat Tongtonge pergi ke sungai, gadis itu melarikan diri. Tapi sebelum itu, dia mengisi keranjang yang tadi ditempatinya dengan batang kayu dan batu.

Setelah Tongtonge kembali ke tempat keranjang-keranjang tadi diletakkan, ia langsung mengangkatnya tanpa memeriksa isinya terlebih dahulu.

Saat tiba di rumah ibunya, Tongtonge langsung berteriak, “Ibu… Calon menantu ibu sudah datang!”

“Kalau kau bawa batu dan batang, letakkan saja di bawah rumah,” jawab ibunya sambil membuka pintu.

“Bukan Bu, menantu ibu sudah datang,” ulang Tongtonge lebih keras karena ibunya kurang pendengaran.
Dia lantas menunjuk salah satu keranjang yang dibawanya.

“Kalau begitu ajaklah ke sini. Bukalah keranjang itu!” pinta ibunya.

Tongtonge dengan cepat berlari ke arah keranjang tersebut. Dan betapa terkejutnya dia ketika mengetahui isi keranjang itu hanyalah sebuah batu dan sebatang kayu. Tongtonge menangis, dia menyesali nasibnya.
Share:

27 Jun 2016

CERITA KINJENG TANGIS (Cerita Rakyat Jawa Tengah)

CERITA KINJENG TANGIS
(Cerita Rakyat Jawa Tengah)





CERITA KINJENG TANGIS (Cerita Rakyat Jawa Tengah)



Gendu anak laki-laki yang tampan. Kulit tubuhnya kuning langsat, bersih, dan bercahaya. Mirip pangeran dari kerajaan meskipun ia hanyalah anak sepasang pencari kayu bakar yang miskin.

Sayangnya, Gendu tak pernah mau pergi bersama kedua orangtuanya ke hutan mencari kayu bakar. Ia pun tak mau bertandang ke desa tetangga. Ia malu mempunyai orangtua yang hitam, dekil, dan miskin.

Setiap pagi, saat Gendu masih tidur mendengkur, Bapak dan Emak sudah berangkat ke hutan. Menjelang siang, Gendu baru bangun. Yang dibuka pertama kali adalah tudung saji di atas meja kayu yang telah kusam dan lapuk. Semua yang terhidang itu dimakannya. Setelah itu, ia pergi dan bermain dengan anak-anak orang kaya.

Selama ini Gendu mengaku pada mereka bahwa dirinya anak bangsawan. Ia tak pernah mengakui Bapak dan Emak sebagai orangtua kandungnya.

Suatu hari, ia kepergok tiga orang pemburu yang mampir ke rumah. Saat itu ia sedang makan bersama kedua orangtuanya.

“Lho, kok, Raden Gendu berada di sini?” tanya salah seorang di antara mereka. Orang-orang selalu memanggil Gendu dengan sebutan Raden karena mengira Gendu benar-benar anak bangsawan.

“Aku bermain terlalu jauh sehingga tersesat. Untunglah aku bertemu dengan bekas pelayan orangtuaku,” jawab Gendu berdusta.

Tiga pemburu itu percaya.

“Kalau Raden Gendu takut pulang sendirian, mari kita pulang bersama-sama,” ajak pemburu kedua.

Mendengar kata-kata Gendu, betapa remuk-redam hati Bapak dan Emak. Putra kesayangan mereka itu sudah terang-terangan tak mau mengakui mereka sebagai orangtuanya. Mereka berdoa pada Tuhan agar sang anak sadar dari keangkuhannya.

Setelah tiga pemburu itu pergi, Gendu langsung meninggalkan meja makan sambil mendengus kasar,

“Huuuhhh…! Bapak dan Emak telah mempermalukan Gendu!”

“Mempermalukan bagaimana, Nak?” tanya Emak tak mengerti.

“Emak tidak bilang akan ada orang datang kemari!” kata Gendu.

“Kenapa harus bilang sama kamu, Nak, kalau ada orang datang?” tanya Bapak yang sejak tadi diam.

“Gendu malu! Orang-orang akhirnya tahu Gendu bukan anak bangsawan. Gendu hanya anak pencari kayu bakar yang miskin. Gendu malu…, malu… malu sekali!” seru Gendu berkali-kali.

Mendengar kata-kata Gendu yang sudah keterlaluan itu, Bapak dan Emak hilang kesabaran.

“Bapak dan Emak sudah sekian lama bersabar hati dan berkorban perasaan demi menyenangkanmu, Nak! Tapi tenyata kamu semakin tak tahu diri!” seru Bapak.

“Kalian yang tak tahu diri!” tukas Gendu. “Mungkin Gendu memang anak bangsawan tapi kalian telah menculik Gendu. Gara-gara perbuatan kalian, Gendu jadi menderita, miskin, dan terhina!”

“Gendu, sadarlah kamu, Nak. Kamu memang anak kandung Emak dan Bapak. Emak yang melahirkanmu. Maafkan Emak dan Bapak bila tidak bisa membahagiakanmu,” ujar Emak dengan berurai air mata.

“Tidak! Gendu tidak percaya! Kalian bukan orangtua kandung Gendu. Buktinya, kita tidak mirip. Gendu tampan dan bersih,sedangkan kalian hitam dan jelek!” bantah Gendu.

“Baiklah, Nak,” lanjut Emak, “kalau kamu menyesal menjadi anak Emak dan Bapak, dan malah menuduh kami telah menculikmu dari orangtuamu yang bangsawan, silakan cari orangtuamu itu! Emak dan Bapak ikhlas melepas kamu pergi!”

Kemudian, Gendu meninggalkan rumah. Ia berniat mencari orangtua yang diyakininya sebagai orangtua kandungnya. Namun, yang ia cari tak pernah ditemui.

Seiring waktu, Gendu menjadi olok-olok. Wajahnya yang tampan dan bersih berubah menjadi kotor. Pikirannya sibuk mencari orangtua bangsawan khayalannya sehingga ia tak sempat mandi. Tubuhnya kurus kering dan terbalut pakaian compang-camping seperti gelandangan.

Dalam kondisi yang menyedihkan itu, Gendu akhirnya sadar dan menyesal telah meninggalkan kedua orangtua kandungnya. Ia pulang ke desa, ingin memohon ampun kepada Emak dan Bapak.

Tetapi, ternyata gubuk mereka telah lenyap disapu angin puyuh yang menyerang desa beberapa bulan lalu. Emak dan Bapak telah pergi tak tentu rimbanya.

Dalam kesedihan dan penyesalan, Gendu terus mencari Emak dan Bapak sambil menangis pilu. Lambat laun, tanpa ia sadari, tubuhnya berubah menjadi sesosok makhluk sejenis serangga. Bila bersuara, seperti anak yang menangis sedih.

Penduduk setempat menamakan binatang kecil mirip lalat besar itu Kinjeng Tangis, yaitu semacam capung yang bersuara melengking, seperti suara anak kecil yang menangis pilu. Konon, itu tangisan Gendu yang menyesali perbuatannya sambil memanggil-manggil kedua orangtuanya.
Share: