22 Jun 2016

ISLAM SUDAH CUKUP SEMPURNA...TAK USAH DITAMBAHI ATAU DIKURANGI

ISLAM SUDAH CUKUP SEMPURNA...TAK USAH DITAMBAHI ATAU DIKURANGI








Kata-kata yang sudah sangat masyhur dan telah dianggap berasal dari Umar bin Khottobdan Imam Asy Syafi’i. Sebagaian orang lantas menyangka selama bid’ah itu baik, maka tidaklah masalah diamalkan. Karena bid’ah menurutnya ada yang baik (bid’ah hasanah) dan ada bid’ah yan jelek (bid’ah sayyi’ah). Lantas segala amalan pun yang tanpa tuntunan cuma sekedar dibangun atas landasan niat baik menjadi legal.Khalifah ‘Umar dan Imam Syafi’i Berbicara Mengenai Bid’ah Hasanah‘Umar bin Al Khottobradhiyallahu ‘anhuketika menghidupkan shalat tarawih secara berjama’ah, beliau berkata,الْبِدْعَةُ هَذِهِ“Sebaik-baik bid’ah adalah ini”.[1]Imam Syafi’irahimahullahberkata,البدعة بدعتان: بدعة محمودة، وبدعة مذمومة، فما وافق السنة، فهو محمود، وما خالف السنة، فهو مذموم“Bid’ah itu ada dua macam yaitu bid’ah mahmudah (yang terpuji) dan bid’ah madzmumah (yang tercela). Jika suatu amalan bersesuaian dengan tuntunan Rasul, itu termasuk amalan terpuji. Namun jika menyelisihi tuntunan, itu termasuk amalan tercela”[2]Memahami Perkataan ‘Umar bin Khottob tentang Shalat TarawihMengenai kisah keluarnya ucapan ‘Umar “sebaik-baik bid’ah adalah ini” dapat kita saksikan pada hadits berikut ini.عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ, وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ. فَقَالَ عُمَرُ: وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرَانِيلَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ, فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ. قَالَ: ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ, فَقَالَ عُمَرُ: نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ, وَالَّتِي تَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنْ الَّتِي تَقُومُونَ, يَعْنِي آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُDari Abdurrahman bin Abdil Qaary katanya; aku keluar bersama Umar bin Khatthab di bulan Ramadhan menuju masjid (Nabawi). Sesampainya di sana, ternyata orang-orang sedang shalat secara terpencar; ada orang yang shalat sendirian dan ada pula yang menjadi imam bagi sejumlah orang. Maka Umar berkata: “Menurutku kalau mereka kukumpulkan pada satu imam akan lebih baik…” maka ia pun mengumpulkan mereka –dalam satu jama’ah– dengan diimami oleh Ubay bin Ka’ab. Kemudian aku keluar lagi bersamanya di malam yang lain, dan ketika itu orang-orang sedang shalat bersama imammereka, maka Umar berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini, akan tetapi saat dimana mereka tidur lebih baik dari pada saat dimana mereka shalat”, maksudnya akhir malam lebih baik untuk shalat karena saat itumereka shalatnya di awal malam.[3]Perkataan ‘Umar di atas disikapi oleh Ibnu Rajab dengan pernyataan berikut,“Adapun perkataan ulama salaf yang menganggap adanya bid’ah yang baik, maka yang dimaksudkan adalah bid’ah lughowi (bid’ah secara bahasa) dan bukan menurut istilah syar’i. Contoh perkataan yang dimaksud adalah perkataan ‘Umar bin Khottob ketika beliau mengumpulkan orang-orang untuk melaksanakan qiyam Ramadhan(shalat tarawih) bersama dengan satu imam di masjid. Lantas ‘Umar keluar dan melihat mereka shalat (dengan satu imam), lalu ia pun berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. Diriwayatkan bahwa Ka’ab bin Malik berkata pada ‘Umar, “Ini sebelumnya tidak ada”. “Aku tahu. Akan tetapi perbuatan ini baik (hasan)”, jawab ‘Umar. Yang dimaksudkan oleh ‘Umar bahwa shalat tarawih sebelumnya tidak dilakukan seperti itu sebelumnya. Akan tetapi, ada landasan dalam syari’at mengenai hal ini di mana Nabishallallahu ‘alaihi wa sallammendorong dan memotivasi untuk melaksanakan qiyam Ramadhan. Dahulu di masa Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang melaksanakan shalat tarawih secara jama’ah namun terpisah-pisah atau berkelompok-kelompok. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallamshalat bersama para sahabat di bulan Ramadhan lebih dari semalam. Kemudian beliau enggan melaksanakannya lagi karena khawatir shalat tarawih itu wajib. Beliau pun tidak merutinkannya setelah itu. Namun setelah Nabishallallahu ‘alaihi wa sallamkekhawatiran tersebut sudah tidak ada. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabishallallahu ‘alaihi wa sallammendirikan shalat tarawih bersama para sahabatnya di malam ganjil di sepuluh hari terakhir dari Ramadhan”.[4]Ibnu Rajab setelah itu mengatakan bahwa shalat tarawih yang dihidupkan kembali oleh ‘Umar tetap sah dan bukan bid’ah karena itu adalah bagian dari sunnah[5](ajaran) khulafaurrosyidin al mahdiyyin[6]yang kita juga diperintahkan untuk mengikutinya. IbnuRajabrahimahullahberkata, “Alasan lain bahwa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallammengikuti sunnah (ajaran) khulafaur rosyidin. Bahkan shalat tarawih telah menjadisunnah (ajaran) khulafaur rosyidin. Manausiadi masa ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali juga menghidupkannya secara berjama’ah.”[7]Dalil bahwasanya kita diperintahkan mengikuti ajaran khulafaur rosyidin,فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ“Berpegang teguhlah dengan ajaranku dan ajaran kholifah yang diberi petunjuk dalam ilmu dan amal, berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah (kuat-kuat) dengan gigi geraham kalian”.[8]Ibnu Taimiyah berkata, “Perlu dipahami bahwa istilah bid’ah hasanah yang disebutkan‘Umar hanyalah penyebutan bid’ah secara bahasa dan bukan istilah syari’at. Karena bid’ah  secara bahasa berarti setiap perbuatan yang diawali tanpa ada contoh sebelumnya.”[9]Perkataan bid’ah dengan artian bahasa -yaitu sesuatu yang baru- dikatakan pula oleh anak ‘Umar bin Khottob, ‘Abdullah bin ‘Umarradhiyallahu ‘anhuma.Yang namanya adzan pertama pada shalat Jum’at baru dilakukan dimasa ‘Utsman karena kebutuhan manusia akan hal itu. Dan amalan ini diteruskan pula oleh ‘Ali bin Abi Tholib. Namun Ibnu ‘Umar lantas berkata, “Huwa bid’ah (ini adalah bid’ah)”. Ibnu Rajab menerangkan maksud Ibnu ‘Umar, “Sepertinya Ibnu ‘Umar ingin berkata seperti maksud ayahnya dalam masalah qiyam Ramadhan (shalat tarawih).”[10]Bagaimana bisa hadits dipertentangkan dengan perkataan sahabat?Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallamtelah menegaskan bahwa setiap bid’ah adalah sesatsebagaimana sabdanya,وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ“Setiap bid’ah adalah sesat?”[11]Asy Syathibi mengatakan, “Para ulama memaknai hadits di atas sesuai dengan keumumannya, tidak boleh dibuat pengecualian sama sekali. Oleh karena itu, tidak ada dalam hadits tersebut yang menunjukkan ada bid’ah hasanah.”[12]Artinya setiap bid’ah itu tercela, tidak ada yang hasanah.
Share:

0 Comant: