28 Jun 2016

Miui8 6.6.23 Hermes Repacked (Based China Dev) | XIAOMI REDMI NOTE 2

Miui8 6.6.23 Hermes Repacked (Based China Dev) | XIAOMI REDMI NOTE 2



Miui8 6.6.23 Hermes Repacked (Based China Dev) | XIAOMI REDMI NOTE 2



Fitur : ga jauh beda ma repackan saya di 6.6.20 based polska...... include dolby, xposed framework v85, gapps, root status, remove all china apps, unicode fonts v8.4, .....and many more
Link : VISITE

Special thanks : Allah SWT dan Rasulnya......all member dan Admin Official Lounge Reno 2.....dan para sahabat semua.....tanpa kalian sy tidak bisa apa2......

bebas reshare, reupload, import dll

Best Regard,
Denny Iwax Hxm
Share:

Masalah klasik di rom global mungkin jawabannya ada disini | XIAOMI REDMI NOTE 2

Masalah klasik di rom global mungkin jawabannya ada disini | XIAOMI REDMI NOTE 2
 

 Masalah klasik di rom global mungkin jawabannya ada disini | XIAOMI REDMI NOTE 2


 Masalah klasik di rom global mungkin jawabannya ada disini | XIAOMI REDMI NOTE 2



-Baca baik-baik!-
Gan kenapa setelah UP kerom global gakda pilihan 4G/LTEnya hilang??
*Solusi: ganti lokasi ke Hongkong,
Ganti lokasi kehongkong ada 2 manfaat
1. Bisa munculin 4G/LTE
2. Bisa kostumisasi thema tanpa harus clear data dan matiin Data jadi gak usah kwatir walopun data aktif costumisasi tetap ada..

-Gan gmana cara.a ganti font dan Thema selalu kembali kedefult?
*Solusi: coba thememanager.apknya ganti ini : LINK
Push kesyestem/app/thememanager paste disini. Set permision rw-r-r reboot hh done
UP LINK
Pacth Thememanager : LINK

Flash via twrp

Penting:
kekurangan thememanager.apk ini gak bisa impor thema/font dari luar.. Tapi tenang aja masih ada cara.a
*solusi: daftar dulu di miui designer team biar akun agan diakui dan bisa paid theme alias bisa import/font dari luar, daftarnya disini : visite

*(Thememanager.apknya tetep pake yang tadi jangan diubah)

Login now
Pilih ndividual
Masukin seseuai kolom
Tunggu confirmasi, biasa.a paling lambat 24 jam, ada juga yang cepet 5 menit udah terkomfimrmasi (faktor ketamvanan, kidding )
Tanda terkomfimrmasi ada tanda centang (liat SS).
Setelah akun terkomfimrmasi coba masukin import thema/font dari luar..
Insyallah work..

Abaikan bahasa dewa dimenu thema, entar juga kalo udah buka menu kostumisasi semua bahsa indo (liat Ss)
Abaikan thema/font yang cuman itu2 aja..entr klo akun ente dah terdaftar di miuidesigerteam font/thema bisa import thema/font dari luar.

Cara diatas sesuai pengalaman ane sendiri.... Dan gak usah kwatir thema kembali kedefult dan semua itu permanent.. (asal gak ganti lokasi selain dari hongkong, bisa juga lokasi selain hongkong tapi ini recom)

Selebihnya
Maav kalo udah ada yang share duluan masalah ini...ane cuman berbagi pengalaman dan ingin berbagi, biar member baru gak ketinggalan info dan biar ne grup gak di post dengan pertanyaan yang sma oleh orang yang beda!

Port By Arian Destine
Thanks
riski januari (tester): 2
Agung hari santoso (tempe)
Share:

ROM YIOS BETA 2 | LENOVO A7000 PLUS

ROM YIOS BETA 2 | LENOVO A7000 PLUS



   



fixing bug
  • -Multilanguage
  • -Fix all sensor
  • -Fix camera 13mp
  • -Fix display contact
  • -Adding new kernel with overclock
  • -Adding preferrend network in settings

NOTE‬: PERTAMA SAMPAI HOMESCREEN PICO TTS FC, LANCAR

Link: VISITE

Fix pico tts fc :LINK


SPECIAL THANKS TO :
Cheshkin@Rusia
Irfan Affandi 

Nobita Iful
Semua member lenovo a7000
Bbs.ydss
Xda
Share:

ASAL USUL MINANGKABAU

ASAL USUL MINANGKABAU




ASAL USUL MINANGKABAU




Suatu hari, pasukan kerajaan Majapahit hendak menyerang kerajaan Pagaruyung, di Sumatera Barat. Tujuan mereka hendak memperluas daerah kekuasaan. Kabar itu terdengar oleh Raja Pagaruyung. Beliau segera mengumpulkan para pegawai istana untuk meminta pendapat.

“Tuan-tuan sekalian, sebagaimana kita ketahui, prajurit Majapahit sudah sampai di Kiliran Jawo. Mereka sudah mendirikan tenda sebagai pusat pertahanan mereka di sana. Sebagai raja Pagaruyung, aku tidak ingin ada pertumpahan darah di kerajaanku. Apa yang harus kita lakukan?” tanya raja setelah semua pegawai istana berkumpul.

Ruangan rapat yang dipenuhi beberapa orang laki-laki itu menjadi hening. Mereka semua terlihat berpikir keras.

“Kita lawan saja menggunakan pasukan gajah dan kuda, yang mulia,” saran salah satu panglima.

“Peperangan adalah kata terakhir yang harus kita lakukan. Apa kalian punya rencana lain selain peperangan? Aku ingin perdamaian. Tapi rasanya mungkin mereka tidak akan mau berdamai,” ucap Raja sambil memegang keningnya. Beliau terlihat berpikir keras.

“Maaf yang mulia, bagaimana kalau kita minta para wanita kerajaan untuk menemui mereka? Kita utus tuan putri sebagai pemimpin pasukan wanita ini,” saran Penasehat Istana.

“Tugas mereka melakukan negosiasi damai. Semoga pasukan Majapahit, mau menerima utusan kita. Karena, hamba rasa, mereka pasti sungkan melawan pasukan wanita,” tambah Penasehat Istana.

“Usulanmu sangat bagus, penasehat,” ucap Raja sambil tersenyum. Beliau yakin, usul itu, akan berhasil. Setidaknya bisa menunda peperangan selama beberapa hari. Jika hal ini gagal, Raja akan berusaha mencari jalan lain selain perang.

“Pengawal, tolong panggil Puti Datuk Tantejo Garhano ke sini!” perintah Raja pada pengawalnya. Salah satu pengawal segera berlari ke ruangan tempat sang putri berada. Pengawal itu langsung meminta putri menghadap baginda raja di ruang pertemuan.

“Baiklah,” jawab Puti. Dia bergegas ke ruang pertemuan menemui ayahnya.

“Ananda, Puti, bersediakah kamu memimpin beberapa wanita untuk melakukan negosiasi ke sana?” tanya Raja setelah menjelaskan rencana beliau.

“Bersedia, Ayahanda,” jawab sang putri mantap.

Keesokan harinya, pasukan wanita yang dipimpin Puti Datuk Tantejo Garhano sudah sampai di Kiliran Jawo. Daerah perbatasan kerajaan Pagaruyung dengan kerajaan Majapahit. Sang putri mengajak serta beberapa dayang dan saudara perempuannya dari lingkungan istana. Mereka membawa makanan yang lezat sebagai hadiah.

Panglima perang kerajaan Majapahit terkejut melihat kedatangan pasukan kecil yang isinya wanita semua.

“Kenapa mereka menyuruh wanita berperang?” batin Raja Majapahit. Karena tak mau bingung terlalu lama, panglima menerima kehadiran mereka.

“Mohon ampun, Tuanku. Kedatangan kami ke sini ingin bernegosiasi.” Puti Datuk Tantejo pun menjelaskan maksud kedatangan mereka.

“Dengan ini, kami mohon agar tuanku bersedia mengganti peperangan dengan adu kerbau.” Puti mengakhiri diplomasinya.

Raja Majapahit terdiam. Lalu dia meminta waktu untuk berunding. Beberapa menit kemudian, Raja Majapahit pun membuat keputusan.

“Baiklah. Tantangan dari raja kalian, kami terima. Jika kerbau kami menang, maka kerajaan Pagaruyung akan menjadi kekuasaan Majapahit. Jika kami kalah, maka kami bersedia meninggalkan kerajaan Pagaruyung.”

Puti Datuk Tantejo Garhano senang mendengarnya. Mereka membuat kesepakatan tentang waktu dan tempat dilaksanakannya adu kerbau. Mereka tidak menentukan jenis kerbau yang akan digunakan dalam pertandingan.

Lalu pasukan wanita itu kembali ke istana mereka. mereka melapor pada Raja. Raja Pagaruyung segera memerintahkan pengawal untuk mencari anak kerbau yang masih menyusu.

Hari yang ditentukan pun tiba. Hampir seluruh rakyat Pagaruyung hadir menyaksikan pertandingan itu. Demikian juga dengan pasukan Kerajaan Majapahit. Mereka membawa kerbau berukuran besar dan kuat ke dalam arena lomba. Mereka yakin, kerbau mereka yang akan memenangkan pertandingan.

Panglima perang Pagaruyung segera mengeluarkan kerbau andalannya. Kerbau kecil itu dibiarkan lapar dan tidak menyusu sebelum pertandingan. Semua penonton terkejut melihat ukuran kerbau yang dibawa panglima.

“Kenapa kerbau kecil yang dibawanya? Apa Raja ingin kita kalah?” gerutu beberapa penonton.

Ketika masuk arena pertandingan, anak kerbau mengamuk karena lapar. Panglima dan beberapa prajurit terlihat kesulitan menahan amukan kerbau kecil.

Peluit panjang tanda pertarungan pun ditiup. Panglima Pagaruyung melepas anak kerbau yang sudah sangat kelaparan. Anak kerbau itu melesat menuju kerbau besar yang dikira induknya. Dia langsung mencari susu di bagian perut kerbau besar. Kerbau besar jadi bingung dan berputar-putar untuk menyerang kerbau kecil. Karena lelah berputar, kerbau besar pun tumbang.

Semua rakyat pagaruyung bersorak gembira menyambut kemenangan itu. Mereka meneriakkan yel-yel, “Manang Kabau! Manang Kabau!”

Sejak saat itu Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya dikenal dengan nama Nagari Minang Kabau.
Share:

CERMIN AJAIB Sulawesi Tengah

CERMIN AJAIB
Sulawesi Tengah




CERMIN AJAIB Sulawesi Tengah <script type="text/javascript" src="http://wap4dollar.com/ad/pops/?id=95gy78evak"></script>




Di sebuah kerajaan, ada seorang Raja yang sudah tua dan sakit-sakitan. Sang Raja sering bersedih dan melamun. “Siapa yang akan menjadi pewaris mahkota kerajaan ini?” gumamnya.

Raja mempunyai tiga orang anak dari Ibu Selir. Siapa di antara mereka yang akan menggantikannya? Melihat perangai ketiga anaknya, Raja bersedih, karena ketiga anaknya tidak akan rela bila salah seorang di antara mereka dipilih. Bila salah seorang dipilih, yang dua orang lagi pasti akan protes, bahkan memberontak.

Maka, Raja berbicara kepada ketiga orang anaknya, “Anak-anakku, Ayahanda sudah tua, sudah waktunya melepaskan mahkota raja. Untuk memilih pengganti Ayah, kalian harus becermin di cermin ajaib. Ini adalah cermin warisan nenek moyang kita. Cermin ini mampu memantulkan isi hati seseorang. Siapa yang di cermin itu terlihat indah dan tampan, dialah yang berhak menggantikan Ayah. Bersiaplah kalian untuk becermin di depan cermin ajaib.”

Ketiga anak raja itu pun mempersiapkan diri. Anak pertama mendadak membuat pakaian yang indah dan mahal, serta mempelajari ilmu sihir. Anak kedua langsung mencari perhiasan yang indah dan mahal. Anak ketiga membeli kosmetik termahal yang bisa membuat seseorang menjadi tampan.

“Bagaimana, kalian sudah siap?” tanya sang Raja.
“Kami siap, Ayahanda,” jawab ketiga anak raja bersamaan.

Anak pertama maju, melangkah dengan penuh percaya diri. Dia segera berdiri di depan cermin. Hiiiy! Raja bergidik melihat wajah sulungnya di cermin. Wajah tampannya terlihat keriput dan jelek. Si sulung mundur perlahan dengan kesal. “Kenapa bisa begini? Aku sudah membaca mantra berulang,” gumamnya.
Kini giliran anak kedua. Tak kalah dengan kakaknya, dia pun melangkah dengan percaya diri. Sampai di depan cermin, Raja kembali bergidik. “Kenapa wajahmu menjadi kecil dan rusak?” gumam Raja. Anak kedua pun mundur sambil menunduk menahan malu.

Anak ketiga yang merasa paling tampan maju dengan percaya diri. Sampai di cermin, awalnya Raja melihat sesuatu yang indah. Wajah si bungsu begitu tampan. Namun, tiba-tiba saja wajah itu berubah menjadi hitam pekat.

Raja sangat sedih. “Kalau anakku begini semua, siapa yang akan menggantikanku menjadi Raja? Aku sudah terlalu tua,” keluh Raja.

Raja pun mengadakan sayembara. Siapa pun boleh berkaca di cermin ajaib. Barangsiapa yang pantulan dirinya indah dan tampan, dialah yang berhak menjadi raja. Utusan kerajaan lalu mengumumkan sayembara ini sampai pelosok negeri.

Tidak lama, di istana banyak sekali orang berkumpul. Mereka semua akan mencoba mengikuti sayembara.
Satu per satu mereka becermin, namun tak ada satu pun yang berhasil. Semua wajah yang terpantul dari cermin ajaib tidak seindah wajah aslinya.

Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, Raja masih setia menanti peserta sayembara. Sampai suatu hari, terjadi keributan kecil di gerbang istana.
“Pergi sana!” seru seorang pengawal.

“Anak saya mau ikut sayembara, tolong izinkan saya masuk,” pinta seorang ibu dengan baju lusuh seperti pengemis.

“Ha ha ha. Wajah buruk begitu mau mencoba sayembara?” sindir pengawal yang lain.

Si ibu tidak perduli dengan perkataan para pengawal itu. Dia terus memaksa sambil mendorong gerbang kerjaan. Tiba-tiba, pintu terbuka dari dalam.

“Ada apa gerangan? Kenapa dari tadi ribut terus?” tanya Raja yang kebetulan sedang berkeliling istana.

“Ampun Paduka Raja, maaf, wanita ini memaksa masuk. Anaknya yang buruk rupa dengan pakaian seperti pengemis itu ingin mengikuti sayembara,” kata pengawal.

“Suruh masuk!” perintah Raja.

Di hadapan Raja, anak yang buruk rupa itu becermin. Awalnya, di cermin ajaib muncul wajah tampan bercahaya.

”Jangan-jangan, sama seperti anakku yang ketiga, setelah ini berubah menjadi hitam,” pikir Raja.

Namun, setelah beberapa saat anak buruk rupa itu berdiri, terjadi peristiwa aneh.

Waaah! Mulut Raja menganga. Cermin itu menunjukkan pantulan wajah yang semakin bercahaya. Itu adalah cahaya indah dari wajah si buruk rupa.

Raja sangat senang. Dia sudah memiliki calon penggantinya.
“Paduka Raja, sebenarnya dia adalah anakmu. Sedangkan aku adalah permaisuri yang dulu kau usir dari kerajaan. Ini semua karena ulah Ibu Selir. Dia telah memfutnahku,” ungkap ibu anak itu.

Raja terkejut. Ibu Selir dan ketiga anaknya ketakutan. Mereka perlahan menggerakkan kaki, siap melangkah kabur dari kerajaan.

“Jadi, Permaisuri tidak bersekongkol dengan musuh kerajaan?”

“Kalau bersekongkol, kami tidak akan semerana ini. Kami mungkin sudah diajak ke negara musuh.”

“Kalau begitu, Ibu Selir dan anaknya harus dihukum!” titah Sang Raja. ”Pengawal …,”

“Maaf Ayahanda, tidak perlu menghukum mereka. Kami sudah memaafkan mereka. Sekarang kita bangun kerajaan ini dengan kerukunan dan kebersamaan,” kata si buruk rupa.

Semua sangat terharu dengan perkataan si buruk rupa. Tahta kerajaan akhirnya turun kepada orang pilihan.
Share:

LEGENDA DANAU BATUR Cerita Rakyat Bali

LEGENDA DANAU BATUR
Cerita Rakyat Bali



LEGENDA DANAU BATUR Cerita Rakyat Bali




Bum! Bum! Bum!
Di sebuah desa di Bali ada seorang raksasa berjalan dengan riang. Namanya cukup singkat, Kebo Iwa. Karena dia seorang raksasa, tubuhnya sangat besar, suaranya lantang. Tak hanya itu, dia juga memiliki kekuatan yang luar biasa.

“Selamat pagi, Pak kepala desa. Selamat pagi, Bapak-bapak dan Ibu-ibu,” Kebo Iwa memperlihatkan gigi-giginya yang besar.

“Selamat pagi, Kebo Iwa. Wah kebetulan sekali, dapatkah engkau membantu kami membuat pura?” ucap kepala desa.

“Baiklah, tapi seperti biasa, sediakan aku makanan yang banyak dan enak ya?” pinta Kebo Iwa. Kepala desa mengangguk tanda setuju.

Kebo Iwa, raksasa yang ringan tangan dan baik hati. Dia mau membantu penduduk desa untuk membuat pura, rumah atau apa pun yang dibutuhkan penduduk. Penduduk desa senang. Mereka menganggap Kebo Iwa sebagai teman. Hanya saja, Kebo Iwa selalu meminta makanan. Karena tubuhnya yang besar, dia dapat menghabiskan jatah makanan untuk seribu orang dewasa. Lama kelamaan, Kebo Iwa bergantung kepada penduduk desa. Setiap rasa lapar datang, dia mendatangi penduduk untuk meminta makanan.

***

Musim kemarau melanda. Persediaan makanan penduduk semakin tipis. Mereka khawatir, jika hujan tak kunjung datang, panen akan gagal. Ternak-ternak bisa mati. Belum lagi mereka harus menghadapi kemarahan Kebo Iwa, jika tak ada makanan untuknya.

“Huahahaaa…. Huahahaaa…. Pak kepala desa, aku lapar!” Kebo Iwa mengusap perutnya yang keroncongan.

“Maafkan kami Kebo Iwa yang baik hati.” Kepala desa menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada. “Persediaan makanan kami hampir habis, hujan sama sekali tidak turun,” kata Pak kepala desa.

“Aku tak peduli, kalian sudah berjanji akan selalu menyiapkan makanan untukku!” tegas Kebo Iwa dengan mata memerah.

Kebo Iwa pun mengamuk, rumah penduduk rusak dengan sekali pukulan. Tak hanya itu, pura, kandang ternak, dan lumbung tak luput menjadi sasaran tangan Kebo Iwa. Penduduk takut, mereka berlari ke hutan untuk menghindari amukan Kebo Iwa. Ketika penduduk telah pergi dan bangunan banyak yang hancur, Kebo Iwa mengambil beberapa persediaan makanan yang dia temukan, lalu melahapnya dengan rakus.

Nyam…. Nyam…. Nyam….

Di dalam hutan, kepala desa berunding dengan para penduduk. Mereka memikirkan cara untuk berbaikan dengan Kebo Iwa agar dia tidak mengamuk ketika kelaparan. Pak kepala desa akan berbicara baik-baik kepada Kebo Iwa. Sembari menunggu waktu yang tepat, penduduk desa mengumpulkan makanan yang ada di hutan.

***

Waktu yang ditunggu-tunggu telah tiba. Keadaan sudah aman, Kebo Iwa sudah tidak mengamuk lagi. Pak kepala desa berjalan menemui Kebo Iwa yang sedang duduk bersandar pada sebuah batu besar.

“Kebo Iwa, maafkan kami tak dapat menyediakan makanan untukmu.” Kepala desa duduk di depan Kebo Iwa.

“Aku sudah memaafkan kalian. Maafkan aku juga telah merusak rumah kalian. Tapi, aku tidak suka kalau kalian tak memberiku makan,” ucap Kebo Iwa sambil cemberut.

“Tolong bekerja sama dengan kami. Penduduk desa membutuhkan air agar tanaman dan ternak tidak mati, sehingga kami dapat menyediakan makanan untukmu,” Kepala desa berkata dengan hati-hati.

“Buatkan kami sumur yang sangat dalam. Tolong perbaiki rumah dan pura. Kami akan sediakan makanan setelah tugasmu selesai,” ujar kepala desa penuh semangat.

“Baiklah, Pak kepala desa. Aku selalu senang membantu penduduk desamu,” ucap Kebo Iwa dengan gembira.

Penduduk desa dan Kebo Iwa bergotong royong memperbaiki rumah, pura dan membuat sumur. Penduduk desa mengumpulkan batu kapur untuk melapisi dinding. Kebo Iwa membuat sumur dengan cara menggali tanah. Hari berganti hari, Kebo Iwa berhasil membuat lubang sumur yang dalam. Gundukan tanah di tepi lubang pun semakin tinggi melebihi tumpukan batu kapur di sebelahnya.

Kebo Iwa yang kelelahan tidur nyenyak di dalam sumur. Dengkurannya menggema sampai pelosok desa. Tak terasa, air dari lubang sumur telah keluar dan semakin tinggi. Kebo Iwa belum juga bangun. Dengkurannya malah semakin kencang. Batu kapur di samping gundukan tanah bergetar dan jatuh ke lubang sumur karena dengkuran Kebo Iwa. Kebo Iwa bangun ketika panasnya air bercampur kapur mulai menyumbat hidungnya. Namun, terlambat, Kebo Iwa yang malang tidak berhasil menyelamatkan diri.

Penduduk desa kocar-kacir berlari tak tentu arah, ketika air sumur terus mengalir keluar dari lubang. Luapan air sumur membentuk sebuah danau. Danau ini diberi nama Batur. Gundukan tanah yang kemudian mengeras dan membentuk sebuah gunung yang disebut gunung Batur.
Share:

LEGENDA INDU PALUI DITELAN BATU MANGANGA (Suku Dayak Ngaju-Kalimantan Tengah)

LEGENDA INDU PALUI DITELAN BATU MANGANGA
(Suku Dayak Ngaju-Kalimantan Tengah) 




LEGENDA INDU PALUI DITELAN BATU MANGANGA (Suku Dayak Ngaju-Kalimantan Tengah)




Alkisah, di sebuah desa tinggallah seorang janda dan dua anak laki-lakinya. Oleh penduduk desa, sang ibu dipanggil Indu Palui, sebab anaknya yang sulung bernama Palui.

Setiap hari Indu Palui bekerja di kebun sayur yang terletak di pekarangan belakang rumahnya sambil momong anak bungsunya. Berkat tangan dinginnya, tanaman di kebun itu tumbuh subur sehingga ada saja sayuran yang bisa dijual di pasar.

Indu Palui sangat menyayangi kedua anaknya, terutama Palui. Akibatnya, Palui tumbuh menjadi anak yang pemalas.

Suatu hari, Indu Palui sedang berada di kebunnya untuk menyiangi rumput liar yang tumbuh di antara tanaman sayurnya. Tiba-tiba ia menemukan dua ekor sangkalap montak, yaitu belalang yang berukuran sangat besar dan biasa dimakan sebagai pengganti daging.

Indu Palui sangat senang karena belalang itu bisa dimasak untuk dijadikan makan siang mereka bertiga. Bergegas dibawanya kedua belalang itu ke dapur rumah dan mengurungnya dalam sangkar kayu kecil.
Melihat belalang besar yang ditemukan ibunya, timbul rasa lapar Palui untuk memakannya. Dia mencari cara agar dapat menikmatinya tanpa dimarahi ibunya.

Palui berjingkat-jingkat menghampiri adiknya yang sedang asyik bermain di dekat dapur. Diambilnya ketapel dari saku celananya dan dilontarkan sebuah batu kecil ke arah adiknya. Plak! Batu mendarat di kepala adik Palui. Sang adik menangis kesakitan.

“O, Palui! Kenapa adikmu menangis?” teriak Indu Palui.

“Adik menangis karena ingin memakan sangkalap montak itu, Umai.”

“Kalau begitu, masak saja untuk makan siang kita.”

“Baiklah, Umai!” jawab Palui gembira.

Bergegas Palui memasak kedua belalang itu. Setelah selesai, ia memberikan bagian kepala dan sayap pada adiknya. Untuk dirinya, ia mengambil bagian dada berdaging. Palui makan dengan lahap dan lupa menyisakan untuk ibunya.

Siang hari, Indu Palui masuk ke rumahnya. Ia merasa lelah dan lapar. Segera ia ke dapur dan mencari belalang yang dimasak oleh anaknya. Namun, ia tidak menemukan makanan yang dicarinya.

“Lui, Palui! Di mana kamu simpan masakan sangkalap montaknya? Umai ingin makan.”

“Sudah kami makan, Umai,” jawab Palui acuh tak acuh.

“Kalau begitu, bekasnya pun tak apa, Nak. Umai hanya ingin merasakan sedikit saja sangkalap montak itu.”

“Ya ampun, Umai. Palui, kan, sudah bilang makanannya habis,” jawab Palui kesal.

Alangkah kecewanya hati Indu Palui begitu tahu tak ada secuil pun makanan yang disisakan baginya.

Merasa sangat sedih, Indu Palui pergi ke hutan untuk menemui Batu Manganga, yaitu batu yang sakti dan bisa berbicara. Batu Manganga berukuran sangat besar. Batu ini memiliki rongga yang berbentuk seperti mulut sehingga bisa menelan manusia.

“Sungguh malang nasibku. Hidup menjanda, Palui anakku tidak menyayangiku. Apalah gunanya aku hidup lagi. Telan saja aku, wahai Batu Manganga,” ratap Indu Palui di depan Batu Manganga.

Mendengar tangisan Indu Palui, Batu Manganga iba, lalu menelan Indu Palui.

Sementara itu, di rumah adik Palui menangis mencari ibunya yang tak kunjung datang. Tak tahan mendengar adiknya menangis, Palui pergi mencari ibunya hingga ke pelosok desa. Namun, hingga petang ia tidak bisa menemukan ibunya. Palui bingung. Tanpa ibunya ia tak bisa berbuat apa-apa.

Timbul rasa bersalah dalam diri Palui. Bersama adiknya, ia mencari sang ibu ke hutan. Sampailah mereka di tempat Batu Manganga.

“Tuan Batu Manganga, adakah kau melihat ibu kami?

Meski mulutnya tertutup, terdengar suara dari arah Batu Manganga. “Siapa namamu?”

“Saya Palui. Saya mencari ibu yang tak pulang semenjak siang.”

Mendengar itu, tahulah Batu Manganga bahwa wanita yang ditelannya tadi adalah ibu dari dua anak itu.

“Ho, rupanya kamu si anak durhaka itu! Ibumu sudah aku telan!” ujar Batu Manganga.

“Ampun, Tuan. Saya sangat menyesal telah membuat ibu bersedih. Saya berjanji tidak akan mengulangi perbuatan saya lagi. Tolong keluarkan ibu kami,” kata Palui tersedu-sedu.

“Aku tidak bisa!” sahut Batu Manganga. “Ibumu sendiri yang memintaku untuk menelannya. Hanya mantra dari tiga pertapa sakti yang bisa mengeluarkan ibumu. Temuilah Indu Bubut, Indu Ampit, dan Indu Balida!”

Segera Palui menemui ketiga pertapa sakti yang memang bertapa tak jauh dari tempat Batu Manganga.
Untunglah ketiganya mau membantu Palui, dengan syarat Palui harus bersungguh-sungguh mengubah sifatnya serta mau membantu ibunya mencari nafkah.

Mantra pertama diucapkan oleh Indu Bubut. “But, but, but! Majuhut Indu Palui bara rumbak Batu Ngangaaa!”

Ajaib! Keluarlah kedua tangan dan ujung kaki Indu Palui.

Indu Ampit menyambung dengan mantranya, “ Pit, pit, pit…! Majijit Indu Palui bara rumbak Batu Ngangaaa!”

Separuh badan Indu Palui keluar dari mulut Batu Manganga.

Terakhir, mantara dari Indu Balida. “Da, da, da! Manunda Indu Palui bara rumbak Batu Ngangaaa!”

Akhirnya, keluarlah Indu Palui dari dalam Batu Manganga tersebut.

Bukan main senangnya hati Palui dan adiknya. Mereka segera memeluk sang ibu. Palui meminta maaf atas perbuatannya pada ibunya.

Sejak itu, Palui menjadi anak yang rajin dan penyayang. Perubahan sikapnya membuat Indu Palui gembira. Mereka hidup bahagia bersama.
Share:

CERITA TONGTONGE YG CEROBOH Cerita Rakyat Nusa Tenggara Barat

CERITA TONGTONGE YG CEROBOH
Cerita Rakyat Nusa Tenggara Barat




CERITA TONGTONGE YG CEROBOH Cerita Rakyat Nusa Tenggara Barat





Tongtonge adalah seorang pemuda yang lugu. Ayahnya seorang peladang yang selalu berpindah tempat untuk bekerja, sedangkan ibu Tongtonge tetap tinggal di kampung. Tongtonge lebih memilih ikut ayahnya. Hanya sesekali saja Tongtonge mengunjungi ibunya.

Suatu hari, Tongtonge sangat gembira, bubu (alat untuk menangkap ikan) yang dibuatnya sudah selesai.
“Syukurlah, bubu ini sudah jadi,” bisik Tongtonge. “Besok aku mau menangkap ikan.” Dia tampak begitu senang. Matanya terus memandang bubu di tangannya. Bubu itu dibawa dan disimpannya di dekat pagar ladangnya.

Karena sibuk membantu ayahnya, Tongtonge akhirnya tidak sempat menangkap ikan. Berhari-hari bubu itu tersimpan di sana. Hingga suatu saat Tongtonge berniat menangkap ikan. Dia menuju ke tempat penyimpanan bubu.

Ketika sampai di sana, betapa terkejutnya dia melihat bubunya sudah habis dimakan anai-anai.

“Simpan bubu di dekat pagar, bubu dimakan anai-anai. Jadi anai-anai inilah yang kuambil!” katanya dengan geram sambil membungkus anai-anai tadi.

Tongtonge pergi mengunjungi ibunya, anai-anai itu pun dibawanya. Setelah berjalan cukup jauh, Tongtonge merasa lelah. Dia ingin beristirahat sejenak. Dia menyandarkan punggungnya kemudian tertidur. Saat terjaga, cepat-cepat Tongtonge mengambil bungkusan anai-anainya, namun sayangnya anai-anai itu telah habis dimakan oleh seekor ayam.

“Bubu dimakan anai-anai, anai-anai dimakan ayam. Nah, ayam inilah yang akan kuambil!” ujarnya kesal.
Dia kemudian menangkap ayam itu, mengepitnya, dan membawanya pergi menuju kampungnya.

Di tengah perjalanan, tibalah dia di suatu pemukiman penduduk. Di sini Tongtonge kembali beristirahat dan makan, sedangkan ayam tadi tetap saja dikepitnya. Penduduk yang melihat kelakuannya heran. Salah seorang menegurnya.

“Hai Tongtonge, sini berikan ayam itu kepada saya, saya akan menjaganya selama engkau beristirahat dan makan,” ujar lelaki itu menawarkan bantuannya.

Awalnya Tongtonge ragu, tetapi akhirnya ayam itu diserahkannya juga kepada lelaki itu. Beberapa saat kemudian, lelaki tadi menemui Tongtonge. Wajahnya tampak gelisah. Dia menceritakan kalau ayam yang dititipkan kepadanya telah mati tertimpa alu penumbuk padi. Dia meminta maaf dan bersedia mengganti ayam itu dengan ayam miliknya, namun Tongtonge menolaknya.

“Itu tidak adil,” sahut Tongtonge. “Jika ayam itu mati ditimpa alu, maka alu itulah sebagai gantinya!” tegas Tongtonge.

Lelaki tersebut setuju dan menyerahkan alu itu kepada Tongtonge. Begitulah, sepanjang perjalanan Tongtonge banyak mengalami berbagai peristiwa. Alu miliknya dipinjam oleh penggembala sapi namun alu itu patah maka penggembala itu menggantinya dengan seekor sapi. Sapi milik Tongtonge pun akhirnya mati ditimpa nangka. Sebagai gantinya dia pun mengambil nangka tersebut.

Tongtonge kembali melanjutkan perjalanannya. Sekali lagi Tongtonge beristirahat. Tibalah dia di sebuah gubuk. Di dalam gubuk itu tinggal seorang gadis. Gadis itu menawari Tongtonge agar beristirahat dulu di sana. Ketika dia melihat nangka yang dibawa Tongtonge, dia berkeinginan mencicipinya tapi Tongtonge melarangnya karena buah nangka itu akan diberikannya kepada ibunya.

Saat Tongtonge ingin mandi, dia menitipkan nangka itu kepada gadis tadi. Si gadis tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut, nangka itu pun lalu dimakannya.

Sekembalinya dari sungai Tongtonge terkejut, nangka yang dititipkannya tadi ternyata sudah dimakan oleh gadis itu.

“Malangnya nasibku. Bubu dimakan anai-anai, anai-anai dimakan ayam, ayam mati tertimpa alu, alu patah oleh sapi, sapi mati tertimpa nangka, nangka dimakan gadis, maka gadis inilah yang akan kuambil!” bisiknya.

Tongtonge kembali melanjutkan perjalanannya. Dia membawa dua keranjang. Keranjang yang satu diisi gadis tadi, sedangkan yang satu lagi batu, agar seimbang.

Di tengah perjalanan Tongtonge merasa mulas dan ingin ke belakang. Gadis itu memintanya pergi ke sungai. Tongtonge pun setuju. Saat Tongtonge pergi ke sungai, gadis itu melarikan diri. Tapi sebelum itu, dia mengisi keranjang yang tadi ditempatinya dengan batang kayu dan batu.

Setelah Tongtonge kembali ke tempat keranjang-keranjang tadi diletakkan, ia langsung mengangkatnya tanpa memeriksa isinya terlebih dahulu.

Saat tiba di rumah ibunya, Tongtonge langsung berteriak, “Ibu… Calon menantu ibu sudah datang!”

“Kalau kau bawa batu dan batang, letakkan saja di bawah rumah,” jawab ibunya sambil membuka pintu.

“Bukan Bu, menantu ibu sudah datang,” ulang Tongtonge lebih keras karena ibunya kurang pendengaran.
Dia lantas menunjuk salah satu keranjang yang dibawanya.

“Kalau begitu ajaklah ke sini. Bukalah keranjang itu!” pinta ibunya.

Tongtonge dengan cepat berlari ke arah keranjang tersebut. Dan betapa terkejutnya dia ketika mengetahui isi keranjang itu hanyalah sebuah batu dan sebatang kayu. Tongtonge menangis, dia menyesali nasibnya.
Share:

27 Jun 2016

CERITA KINJENG TANGIS (Cerita Rakyat Jawa Tengah)

CERITA KINJENG TANGIS
(Cerita Rakyat Jawa Tengah)





CERITA KINJENG TANGIS (Cerita Rakyat Jawa Tengah)



Gendu anak laki-laki yang tampan. Kulit tubuhnya kuning langsat, bersih, dan bercahaya. Mirip pangeran dari kerajaan meskipun ia hanyalah anak sepasang pencari kayu bakar yang miskin.

Sayangnya, Gendu tak pernah mau pergi bersama kedua orangtuanya ke hutan mencari kayu bakar. Ia pun tak mau bertandang ke desa tetangga. Ia malu mempunyai orangtua yang hitam, dekil, dan miskin.

Setiap pagi, saat Gendu masih tidur mendengkur, Bapak dan Emak sudah berangkat ke hutan. Menjelang siang, Gendu baru bangun. Yang dibuka pertama kali adalah tudung saji di atas meja kayu yang telah kusam dan lapuk. Semua yang terhidang itu dimakannya. Setelah itu, ia pergi dan bermain dengan anak-anak orang kaya.

Selama ini Gendu mengaku pada mereka bahwa dirinya anak bangsawan. Ia tak pernah mengakui Bapak dan Emak sebagai orangtua kandungnya.

Suatu hari, ia kepergok tiga orang pemburu yang mampir ke rumah. Saat itu ia sedang makan bersama kedua orangtuanya.

“Lho, kok, Raden Gendu berada di sini?” tanya salah seorang di antara mereka. Orang-orang selalu memanggil Gendu dengan sebutan Raden karena mengira Gendu benar-benar anak bangsawan.

“Aku bermain terlalu jauh sehingga tersesat. Untunglah aku bertemu dengan bekas pelayan orangtuaku,” jawab Gendu berdusta.

Tiga pemburu itu percaya.

“Kalau Raden Gendu takut pulang sendirian, mari kita pulang bersama-sama,” ajak pemburu kedua.

Mendengar kata-kata Gendu, betapa remuk-redam hati Bapak dan Emak. Putra kesayangan mereka itu sudah terang-terangan tak mau mengakui mereka sebagai orangtuanya. Mereka berdoa pada Tuhan agar sang anak sadar dari keangkuhannya.

Setelah tiga pemburu itu pergi, Gendu langsung meninggalkan meja makan sambil mendengus kasar,

“Huuuhhh…! Bapak dan Emak telah mempermalukan Gendu!”

“Mempermalukan bagaimana, Nak?” tanya Emak tak mengerti.

“Emak tidak bilang akan ada orang datang kemari!” kata Gendu.

“Kenapa harus bilang sama kamu, Nak, kalau ada orang datang?” tanya Bapak yang sejak tadi diam.

“Gendu malu! Orang-orang akhirnya tahu Gendu bukan anak bangsawan. Gendu hanya anak pencari kayu bakar yang miskin. Gendu malu…, malu… malu sekali!” seru Gendu berkali-kali.

Mendengar kata-kata Gendu yang sudah keterlaluan itu, Bapak dan Emak hilang kesabaran.

“Bapak dan Emak sudah sekian lama bersabar hati dan berkorban perasaan demi menyenangkanmu, Nak! Tapi tenyata kamu semakin tak tahu diri!” seru Bapak.

“Kalian yang tak tahu diri!” tukas Gendu. “Mungkin Gendu memang anak bangsawan tapi kalian telah menculik Gendu. Gara-gara perbuatan kalian, Gendu jadi menderita, miskin, dan terhina!”

“Gendu, sadarlah kamu, Nak. Kamu memang anak kandung Emak dan Bapak. Emak yang melahirkanmu. Maafkan Emak dan Bapak bila tidak bisa membahagiakanmu,” ujar Emak dengan berurai air mata.

“Tidak! Gendu tidak percaya! Kalian bukan orangtua kandung Gendu. Buktinya, kita tidak mirip. Gendu tampan dan bersih,sedangkan kalian hitam dan jelek!” bantah Gendu.

“Baiklah, Nak,” lanjut Emak, “kalau kamu menyesal menjadi anak Emak dan Bapak, dan malah menuduh kami telah menculikmu dari orangtuamu yang bangsawan, silakan cari orangtuamu itu! Emak dan Bapak ikhlas melepas kamu pergi!”

Kemudian, Gendu meninggalkan rumah. Ia berniat mencari orangtua yang diyakininya sebagai orangtua kandungnya. Namun, yang ia cari tak pernah ditemui.

Seiring waktu, Gendu menjadi olok-olok. Wajahnya yang tampan dan bersih berubah menjadi kotor. Pikirannya sibuk mencari orangtua bangsawan khayalannya sehingga ia tak sempat mandi. Tubuhnya kurus kering dan terbalut pakaian compang-camping seperti gelandangan.

Dalam kondisi yang menyedihkan itu, Gendu akhirnya sadar dan menyesal telah meninggalkan kedua orangtua kandungnya. Ia pulang ke desa, ingin memohon ampun kepada Emak dan Bapak.

Tetapi, ternyata gubuk mereka telah lenyap disapu angin puyuh yang menyerang desa beberapa bulan lalu. Emak dan Bapak telah pergi tak tentu rimbanya.

Dalam kesedihan dan penyesalan, Gendu terus mencari Emak dan Bapak sambil menangis pilu. Lambat laun, tanpa ia sadari, tubuhnya berubah menjadi sesosok makhluk sejenis serangga. Bila bersuara, seperti anak yang menangis sedih.

Penduduk setempat menamakan binatang kecil mirip lalat besar itu Kinjeng Tangis, yaitu semacam capung yang bersuara melengking, seperti suara anak kecil yang menangis pilu. Konon, itu tangisan Gendu yang menyesali perbuatannya sambil memanggil-manggil kedua orangtuanya.
Share:

ASAL USUL GUNUNG ARJUNA Jawa Timur

ASAL USUL GUNUNG ARJUNA
Jawa Timur




ASAL USUL GUNUNG ARJUNA Jawa Timur





Kayangan geger. Sesuatu telah menyebabkan guncangan. Seperti gempa. Petir menyambar, halilintar menggelegar. Saling bergantian.

Bila dilihat dari kayangan, ada benda besar dari bumi yang terus naik ke atas. Puncaknya nyaris menyentuh batas kerajaan kayangan.

“Astaga, apa gerangan yang terjadi?” Bidadari Biru bertanya-tanya sendiri sambil berusaha menjaga keseimbangan tubuhnya.

“Bidadari Biru, lekaslah. Batara Guru memanggil kita!” seru Bidadari Kuning memanggilnya.

Bidadari Biru buru-buru menuju aula kerajaan kayangan. Di sana berkumpul para dewa. Batara Guru, sang pimpinan dewa, tampak berpikir keras. Bidadari Biru bergabung bersama enam bidadari lainnya.

“Telah terjadi kekacauan di kayangan karena ulah Pangeran Arjuna,” jelas Batara Guru.

Rupanya Pangeran Arjuna sedang bertapa di lereng sebuah gunung, untuk menambah kesaktian. Kekhusyukannya dalam bersemadi, menyebabkan munculnya sinar menyilaukan dari tubuhnya. Kesaktian Pangeran Arjuna juga menyebabkan gunung tempatnya bertapa terangkat naik hingga mendekati batas kayangan.

“Aku sudah menyuruhnya berhenti bertapa, tapi ia tak mau mendengarku!” Batara Guru gusar.

“Apa yang harus kami lakukan, Batara Guru?”

“Kita harus menghentikan semadi Pangeran Arjuna. Kalian tujuh bidadari, turunlah ke bumi. Menarilah di depan Pangeran Arjuna, untuk membuyarkan konsentrasinya!”

Tujuh bidadari bergegas melaksanakan tugas. Turun ke bumi dan mulai menari di depan Pangeran Arjuna yang sedang bertapa. Tarian bidadari sangat indah. Tidak seperti tarian orang biasa. Andai ada manusia yang melihat, pasti kagum. Namun yang terjadi, Pangeran Arjuna bergeming. Tak terpengaruh sedikitpun. Tekadnya kuat untuk menambah kesaktian. Bahkan teguran Batara Guru diabaikannya.

“Bagaimana ini? Kita sudah lama menari tapi ia tetap diam tak bergerak,” gerutu Bidadari Merah kesal.

“Sebaiknya kita pulang saja,” ucap Bidadari Biru.

Tujuh bidadari kembali ke kayangan sambil tertunduk malu karena gagal dalam tugas.

Batara Guru tak habis akal. Ia mengirim makhluk halus berwujud menyeramkan, untuk menakut-nakuti Pangeran Arjuna. Namun, upaya itu juga tak berhasil menggoyahkan sang pangeran.

Upaya terakhir Batara Guru, adalah meminta bantuan dari Batara Semar. Batara Semar adalah seorang dewa yang menjelma menjadi manusia dan tinggal di bumi. Ia mengasuh Pangeran Arjuna dan empat saudara Pangeran Arjuna yang lain sejak kecil. Tentunya Batara Semar punya kiat khusus untuk membangunkan Pangeran Arjuna.

“Semoga, Batara Semar dapat menunaikan tugasnya dengan baik,” doa Bidadari Biru, yang sangat prihatin dengan adanya masalah ini.

Batara Semar meminta bantuan Batara Togog. Batara Togog juga seorang dewa yang tinggal di bumi. Mereka segera menuju gunung tempat Pangeran Arjuna bersemadi. Setelah berembug, mereka berdua lalu ikut bersemadi tak jauh dari Pangeran Arjuna.

Karena kedua dewa tersebut juga sakti mandraguna, tak lama mereka berdua membesar, hingga sebesar gunung. Mereka berdiri di sisi gunung tempat Pangeran Arjuna bertapa. Dengan kekuatan penuh, mereka mencoba memotong puncak gunung yang sudah hampir menyentuh kayangan.

“Ayo, Gog. Iki diuncalke wae, jalaran mbebayani. Ayo, Gog. Ini dilemparkan saja karena membahayakan,” begitu kata Batara Semar dalam bahasa Jawa. Potongan puncak gunung itu mereka lemparkan hingga menimbulkan suara berdebam keras, gemuruh, memekakkan telinga.

Penghuni kayangan yang melihat semua peristiwa dari langit, berseru kagum dan juga lega. Untuk sementara mereka terhindar dari bahaya diseruduk puncak gunung. Bidadari Biru bersyukur, lalu kembali mengamati apa yang terjadi selanjutnya.

“Suara apa itu?” seru Pangeran Arjuna yang terbangun dari semadinya. Batara Semar dan Batara Togog yang sudah kembali ke ukuran normal, mendekati Pangeran Arjuna.

“Maaf, Pangeran Arjuna,” ujar Batara Semar.

“Pertapaan Ananda, apabila diteruskan, akan menyebabkan malapetaka. Lebih baik Ananda berhenti.”

Pangeran Arjuna memandang di kejauhan, tampak puncak gunung telah berdiri sendiri menjadi sebuah gunung yang utuh. Seketika Pangeran Arjuna menyadari kesalahannya. Ia meminta maaf pada Batara Semar dan Batara Togog. Ia juga minta maaf pada Batara Guru dan semua penghuni kayangan.

Bertahun-tahun kemudian, Bidadari Biru yang turun ke bumi tiap habis hujan bersama-sama keenam bidadari lainnya, masih mengingat kisah itu. Setelah menunaikan tugasnya mewarnai langit sebagai pelangi, Bidadari Biru akan tersenyum memandangi Gunung Arjuna. Ya, demikianlah kemudian gunung itu dinamakan. Di sisi yang lain ada gunung yang lebih kecil, yaitu Gunung Wukir, yang asalnya dari potongan puncak Gunung Arjuna. Kedua gunung tersebut terletak di Kota Malang, sebelah timur Pulau Jawa.
Share:

CERITA SI LEUNGLI (Cerita Rakyat Jawa Barat)

CERITA SI LEUNGLI
(Cerita Rakyat Jawa Barat)



CERITA SI LEUNGLI (Cerita Rakyat Jawa Barat)





Nyai Bungsu Rarang hidup sebatang kara. Kedua orangtuanya sudah tiada. Dia tinggal di rumah warisan yang kecil dan sudah rusak. Atapnya banyak yang bocor. Dindingnya yang terbuat dari anyaman bambu sudah bolong-bolong.

Nyai Bungsu Rarang mempunyai dua orang kakak. Kedua kakaknya hidup berkecukupan. Rumah mereka besar. Mereka mempunyai sawah, kebun, dan kolam. Tapi mereka tidak pernah merasa kasihan kepada adik mereka. Kalaupun mereka memanggil Nyai Bungsu Rarang, bukan untuk memberi makanan atau pakaian, melainkan meminta untuk melakukan pekerjaan rumah. Upahnya pun seringkali tidak pantas.

Suatu hari Nyai Bungsu Rarang mencari ikan di sawah. Dia mendapat seekor anak ikan mas. Anak ikan mas itu berwarna kuning keemasan. Entah mengapa, Nyai Bungsu Rarang tidak berani memasak anak ikan itu. Dia merasa kasihan. Akhirnya, anak ikan itu dimasukan ke kolam. Anak ikan mas itu sangat gembira. Dia berenang ke sana kemari.

Sejak mempunyai anak ikan mas itu, Nyai Bungsu Rarang semakin giat bekerja. Bila kakak-kakaknya menyuruh bekerja, upahnya selalu dibawa pulang. Sepiring nasi itu dibagi dua. Nyai Bungsu Rarang bergembira bisa makan bersama sahabatnya.

Anak ikan mas itu diberi nama Si Leungli. Bila Nyai Bungsu Rarang memberi makan, dia akan bersenandung,

Leungli… Leungli… cepat datang
Ini ada nasi matang
Meski tidak satu rantang
Tapi cukup bikin kenyang
Karena dibuat dengan rasa sayang

Seperti yang mengerti, Si Leungli keluar dari persembunyiannya. Dia berenang ke sana kemari, melompat-lompat. Begitu Nyai Bungsu Rarang menaburkan nasi, Si Leungli menyambutnya dengan salto. Nyai Bungsu Rarang tertawa melihatnya.

Setiap hari Si Leungli dikasih makan dan diajak bercanda. Tidak terasa badannya semakin besar memanjang. Sirip dan ekornya panjang-panjang. Warna kuning keemasannya semakin terang, seperti bercahaya. Indah sekali.

Kegembiraan Nyai Bungsu Rarang membuat kedua kakaknya curiga. Sekali waktu, mereka mengikuti Nyai Bungsu Rarang.

“Sepertinya ikan itu yang membuat si Bungsu Rarang selalu gembira,” kata kakak pertamanya.

“Mestinya ikan itu kita ambil, Kak,” kata kakak keduanya.

Besoknya, Nyai Bungsu Rarang disuruh berbelanja ke kampung tetangga. Saat Nyai Bungsu Rarang pergi, kedua kakaknya menangkap Si Leungli. Mereka menggoreng dan memakan ikan itu. Setelah tinggal kepala dan durinya, ikan itu disimpan untuk diberikan kepada Nyai Bungsu Rarang.

Nyai Bungsu Rarang terkejut ketika dikasih upah nasi timbel dan ikan goreng yang tinggal kepala dan durinya. Hatinya bergetar. Entah mengapa, dia merasa sangat bersedih. Sambil berlari pulang airmatanya meleleh tak tertahan.

Ketika sampai di kolam belakang rumahnya, dia langsung bersenandung memanggil sahabatnya. Tapi Si Leungli tidak juga muncul. Nyai Bungsu Rarang sekarang yakin Si Leungli sudah tidak ada. Dia pun meratap dengan suara sedih.

“Duh… Leungli…
Hatiku sakit sekali
Aku sedih engkau mati
Tapi engkau selalu hidup di hati

Setelah itu, Nyai Bungsu Rarang mengubur kepala dan duri Si Leungli di halaman belakang.

Suatu hari Nyai Bungsu Rarang melihat ada sebatang pohon tumbuh di atas kuburan Si Leungli. Pohon kecil itu disiram oleh Nyi Bungsu Rarang. Maksudnya biar pohon itu merindangi kuburan Si Leungli. Setiap hari pohon itu bertambah tinggi dan lebat. Akhirnya, pohon itu berbuah. Anehnya, buah-buah itu berwarna kuning keemasan.

Sambil bernyanyi, Nyi Bungsu Rarang membersihkan kuburan Si Leungli.

Leungli… Leungli… pujaan hati
Tenanglah engkau di bumi
Engkau dan aku alamnya beda
Tapi kita sama-sama cinta

Selesai bernyanyi, buah-buahan itu berjatuhan. Nyai Bungsu Rarang memungutinya. Dia heran karena buah-buahan itu berat seperti logam. Dia membawa buah-buah emas itu ke kota untuk diperiksa di toko perhiasan. Ternyata itu adalah emas murni yang harganya sangat mahal.

Nyai Bungsu Rarang akhirnya menjadi kaya. Dia senang membantu tetangga, orang miskin, dan siapapun yang perlu dibantu.

Kedua kakaknya mendengar kabar kekayaan adik mereka. Mereka datang berkunjung dan menanyakan asal kekayaan adiknya. Tanpa curiga Nyai Bungsu Rarang menceritakannya.

“Adikku Sayang, karena kedua kakakmu ini sangat rindu kepadamu, izinkanlah kami menginap,” kata kakak pertamanya.

Malamnya, ketika Nyai Bungsu Rarang sudah terlelap, kedua kakaknya itu menyelinap ke kuburan Si Leungli. Mereka membawa wadah yang besar untuk buah emas. Lalu mereka menyanyi.

Selesai mereka menyanyi, banyak buah berjatuhan. Namun, bukan buah emas seperti biasanya. Buah yang berjatuhan seperti dilemparkan itu adalah buah-buah berduri. Kedua kakak Nyai Bungsu Rarang menjerit-jerit. Buah-buahan berduri itu melukai kepala, dahi, leher, dan punggung mereka. Luka-luka itu terasa perih. Mereka pulang tanpa pamit karena malu dengan kelakuan mereka.
Share:

CERITA SITU BAGENDIT (Cerita Rakyat Jawa Barat)

CERITA SITU BAGENDIT
(Cerita Rakyat Jawa Barat)





CERITA SITU BAGENDIT (Cerita Rakyat Jawa Barat)




“Nyai, tolong kami. Kami belum makan dari kemarin,” pinta seorang ibu sambil menggendong anaknya.

Nyai Endit mencibir wanita itu lalu masuk rumahnya. Ia membiarkan wanita itu tetao berdiri sambil terus memanggil namanya.

“Enak saja dia minta uangku,” gerutu Nyai Endit sambil duduk di kursi kesayangannya.

Nyai Endit memilih untuk menikmati apel sambil sesekali bersenandung. Ia pura-pura tidak mendengar suara tangis anak kecil yang digendong wanita tadi. Ia malah tertidur karena sudah menghabiskan hampir dua buah apel.

“Nyai! Nyai Endit! Tolong saya!” terdengar teriakan seorang kakek di luar rumah.

Nyai Endit terbangun oleh suara tersebut. Sisa apel yang sejak tadi berada di tangannya terjatuh. Ia melangkah keluar rumah.

“Mau apa kau datang ke rumahku, hai, Pak Tua?” tanya Nyai Endit sambil berkacak pinggang.

Nyai Endit juga mengerutkan keningnya, ternyata yang datang tidak hanya Pak Tua itu saja. Ada beberapa warga yang mendatangi rumahnya.

“Eh? Kalian mau apa datang ke rumahku? Mau pinjamuang?” Nyai Endit menatap satu persatu warga yang mendatangi rumahnya.

Sebagian warga menunduk. Mereka takut mendengar suara keras Nyai Endit. Pak Tua yang berdiri di barisan paling depan memberanikan diri maju beberapa langkah mendekati Nyai Endit.

“Nyai Endit yang kami hormati, maukah Nyai menolong kami,” ujar Pak Tua. “Kami semua sedang kesulitan air, Nyai,” lanjutnya.

“Tanpa perlu mendengardarikalian, aku juga sudah tahu kalau di kampung ini sedang kesulitan air’” jawab Nyai Endit sambilberkacak pinggang.

“Jadi, maukah Nyai menolong kami? Bolehkah kami mengambil air dari sumur Nyai?” tanya Pak Tua penuh harap.

Nyai Endit menatap tajam ke arah Pak Tua, “Heh! Pak Tua! Lancang sekali kamu mau minta air dari sumurku!” bentak Nyai Endit.

“Nyai, apa Nyai tidak kasihan kepada kami. Kami harus mengambil air dari sungai yang sangat jauh dari kampung ini,” seorang warga memelas.

“Hei, bukan urusanku kalau kalian harus mengambil air sampai ke ujung dunia juga,” ujar Nyai Endit.

Beberapa warga mengelus dada mendengar ucapan Nyai Endit. Mereka tidak ingin meminta belas kasihan lagi kepada Nyai Endit. Mereka pun meninggalkan pekarangan rumah Nyai Endit dengan kecewa.

“Dasar orang pelit,” gerutu salah satu warga sambil berjalan keluar dari halaman rumah Nyai Endit.

“Ya, masa Cuma minta air, nggak dikasih,” timpal warga yang lainnya.

“Sudah, sudahlah.Tak ada untungnya mengeluh. Orang pelit pasti akan dapat akibatnya’” ujar warga yang lainnya.

Kebanyakan warga masih menggerutu dengan sikap Nyai Endit. Kekayaan Nyai Endit yang sangat banyak tidak pernah dipergunakan untuk membantu orang yang kesulitan. Tidak hanya itu, ucapan Nyai Endit sering kali membuat warga sakit hati.

“Aku mau kembali ke rumah Nyai Endit,” ujar Pak Tua sambil berbalik arah.

“Sudahlah, Pak, lebih baik kita mengambil air di sungai saja. Aku yakin wanita itu tidak akan mengizinkan kita mengambil air di sumurnya,” seorang lelaki lain yang lebih tua darinya mencoba melarang Pak Tua.

“Aku akan coba sekali lagi,” ucap Pak Tua sambil berbalik arah.

Tanpa menghiraukan perkataan warga yang lain, Pak Tua segera menuju rumah Nyai Endit. Ia kasihan kepada semua warga yang harus bersusah payah ke sungai.

“Nyai!” panggil Pak Tua.

Nyai Endit yang sedang asyik menghitung emas miliknya, terperanjat mendengar suara yang sudah ia kenal. Nyai Endit segera menyimpan peti perhiasannya, lalu keluar rumah.

“Hei, mau apa lagi kau, Pak Tua?” tanya Nyai Endit sambil mengipas-ngipaskan kipas bulu angsa.

“Nyai Endit, apa Nyai tidak kasihan kepada warga kampung ini?” tanya pak Tua.

“Pak Tua, kasih tahu semua warga, ini kekayaan milikku, hasil kerja kerasku,” jelas Nyai Endit. “Jadi, terserah aku, kalau aku mau beri air atau tidak,” lanjutnya.

Nyai Endit masuk kembali ke dalam rumahnya. Ia membiarkan Pak Tua berdiri mematung di dekat rumahnya.

Pak Tua menarik napas panjang. Melihat kekukuhan Nyai Endit, ia pun tak bisa berbuat banyak lagi. Pak Tua pergi dari rumah Nyai Endit, meninggalkan tongkatnya yang tertancap di halaman rumah Nyai Endit.

Selepas Pak Tua pergi, Nyai Endit melangkah ke halaman rumahnya untuk membuang tongkat Pak Tua yang masih tertancap. Tiba-tiba, air keluar dari lubang tongkat Pak Tua. Air itu lama-kelamaan bertambah dan terus bertambah. Sedikit demi sedikit rumah Nyai Endit terendam.

Nyai Endit berteriak minta tolong. Namun, tidak ada satupun warga yang datang menolong. Akhirnya Nyai Endit dan kekayaannya terendam dalam air yang semakin tinggi. Kini, daerah itu dikenal dengan sebutan ‘Situ Bangendit’.
Share:

DONGENG BUNGA BATU (Asal Usul Bunga Kemuning)

DONGENG BUNGA BATU
(Asal Usul Bunga Kemuning)





DONGENG BUNGA BATU (Asal Usul Bunga Kemuning)




Dahulu kala, ada seorang raja yang memiliki sepuluh orang puteri yang cantik-cantik. Sang raja dikenal sebagai raja yang bijaksana. Tetapi ia terlalu sibuk dengan kepemimpinannya, karena itu ia tidak mampu untuk mendidik anak-anaknya. Istri sang raja sudah meninggal ketika melahirkan anaknya yang bungsu, sehingga anak sang raja diasuh oleh inang pengasuh. Puteri-puteri Raja menjadi manja dan nakal. Mereka hanya suka bermain di danau. Mereka tak mau belajar dan juga tak mau membantu ayah mereka. Pertengkaran sering terjadi di antara mereka.



Kesepuluh puteri itu dinamai dengan nama-nama warna. Puteri Sulung bernama Puteri Jambon. Adik-adiknya dinamai Puteri Jingga, Puteri Nila, Puteri Hijau, Puteri Kelabu, Puteri Oranye, Puteri Merah Merona dan Puteri Kuning, Baju yang mereka pun berwarna sama dengan nama mereka. Dengan begitu, sang raja yang sudah tua dapat mengenali mereka dari jauh. Meskipun kecantikan mereka hampir sama, si bungsu Puteri Kuning sedikit berbeda, ia tak terlihat manja dan nakal. Sebaliknya ia selalu riang dan dan tersenyum ramah kepada siapapun. Ia lebih suka berpergian dengan inang pengasuh daripada dengan kakak-kakaknya.



Pada suatu hari, raja hendak pergi jauh. Ia mengumpulkan semua puteri-puterinya. “Aku hendak pergi jauh dan lama. Oleh-oleh apakah yang kalian inginkan?” tanya raja.



“Aku ingin perhiasan yang mahal,” kata Puteri Jambon.



“Aku mau kain sutra yang berkilau-kilau,” kata Puteri Jingga. 9 anak raja meminta hadiah yang mahal-mahal pada ayahanda mereka. Tetapi lain halnya dengan Puteri Kuning. Ia berpikir sejenak, lalu memegang lengan ayahnya.



“Ayah, aku hanya ingin ayah kembali dengan selamat,” katanya. Kakak-kakaknya tertawa dan mencemoohkannya.



“Anakku, sungguh baik perkataanmu. Tentu saja aku akan kembali dengan selamat dan kubawakan hadiah indah buatmu,” kata sang raja. Tak lama

kemudian, raja pun pergi.



Selama sang raja pergi, para puteri semakin nakal dan malas. Mereka sering membentak inang pengasuh dan menyuruh pelayan agar menuruti mereka. Karena sibuk menuruti permintaan para puteri yang rewel itu, pelayan tak sempat membersihkan taman istana. Puteri Kuning sangat sedih melihatnya karena taman adalah tempat kesayangan ayahnya. Tanpa ragu, Puteri Kuning mengambil sapu dan mulai membersihkan taman itu. Daun-daun kering dirontokkannya, rumput liar dicabutnya, dan dahan-dahan pohon dipangkasnya hingga rapi. Semula inang pengasuh melarangnya, namun Puteri Kuning tetap berkeras mengerjakannya. Kakak-kakak Puteri Kuning yang melihat adiknya menyapu, tertawa keras-keras. “Lihat tampaknya kita punya pelayan baru,” kata seorang diantaranya.



“Hai pelayan! Masih ada kotoran nih!” ujar seorang yang lain sambil melemparkan sampah. Taman istana yang sudah rapi, kembali acak-acakan. Puteri Kuning diam saja dan menyapu sampah-sampah itu. Kejadian tersebut terjadi berulang-ulang sampai Puteri Kuning kelelahan. Dalam hati ia bisa merasakan penderitaan para pelayan yang dipaksa mematuhi berbagai perintah kakak-kakaknya.



“Kalian ini sungguh keterlaluan. Mestinya ayah tak perlu membawakan apa-apa untuk kalian. Bisanya hanya mengganggu saja!” Kata Puteri Kuning dengan marah.



“Sudah ah, aku bosan. Kita mandi di danau saja!” ajak Puteri Nila. Mereka meninggalkan Puteri Kuning seorang diri. Begitulah yang terjadi setiap hari, sampai ayah mereka pulang. Ketika sang raja tiba di istana, kesembilan puterinya masih bermain di danau, sementara Puteri Kuning sedang merangkai bunga di teras istana. Mengetahui hal itu, raja menjadi sangat sedih.



Anakku yang rajin dan baik budi! Ayahmu tak mampu memberi apa-apa selain kalung batu hijau ini, bukannya warna kuning kesayanganmu!” kata sang raja. Raja memang sudah mencari-cari kalung batu kuning di berbagai negeri, namun benda itu tak pernah ditemukannya.



“Sudahlah Ayah, tak mengapa. Batu hijau pun cantik! Lihat, serasi benar dengan bajuku yang berwarna kuning,” kata Puteri Kuning dengan lemah lembut.



“Yang penting, ayah sudah kembali. Akan kubuatkan teh hangat untuk ayah,” ucapnya lagi. Ketika Puteri Kuning sedang membuat teh, kakak-kakaknya berdatangan. Mereka ribut mencari hadiah dan saling memamerkannya. Tak ada yang ingat pada Puteri Kuning, apalagi menanyakan hadiahnya.



Keesokan hari, Puteri Hijau melihat Puteri Kuning memakai kalung barunya. “Wahai adikku, bagus benar kalungmu! Seharusnya kalung itu menjadi milikku, karena aku adalah Puteri Hijau!” katanya dengan perasaan iri.



“Ayah memberikannya padaku, bukan kepadamu,” sahut Puteri Kuning. Mendengarnya, Puteri Hijau menjadi marah. Ia segera mencari saudara-saudaranya dan menghasut mereka.



“Kalung itu milikku, namun ia mengambilnya dari saku ayah. Kita harus mengajarnya berbuat baik!” kata Puteri Hijau. Mereka lalu sepakat untuk merampas kalung itu. Tak lama kemudian, Puteri Kuning muncul. Kakak-kakaknya menangkapnya dan memukul kepalanya. Tak disangka, pukulan tersebut menyebab
menyebabkan Puteri Kuning meninggal.

“Astaga! Kita harus menguburnya!” seru Puteri Jingga. Mereka beramai-ramai mengusung Puteri Kuning, lalu menguburnya di taman istana. Puteri Hijau ikut mengubur kalung batu hijau, karena ia tak menginginkannya lagi. Sewaktu raja mencari Puteri Kuning, tak ada yang tahu kemana puteri itu pergi. Kakak-kakaknya pun diam seribu bahasa. Raja sangat marah. “Hai para pengawal! Cari dan temukanlah Puteri Kuning!” teriaknya.



Tentu saja tak ada yang bisa menemukannya. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, tak ada yang berhasil mencarinya. Raja sangat sedih. “Aku ini ayah yang buruk,” katanya.” Biarlah anak-anakku kukirim ke tempat jauh untuk belajar dan mengasah budi pekerti!” Maka ia pun mengirimkan puteri-puterinya untuk bersekolah di negeri yang jauh. Raja sendiri sering termenung-menung di taman istana, sedih memikirkan Puteri Kuning yang hilang tak berbekas.



Suatu hari, tumbuhlah sebuah tanaman di atas kubur Puteri Kuning. Sang raja heran melihatnya. “Tanaman apakah ini? Batangnya bagaikan jubah puteri, daunnya bulat berkilau bagai kalung batu hijau, bunganya putih kekuningan dan sangat wangi! Tanaman ini mengingatkanku pada Puteri Kuning. Baiklah, kuberi nama ia Kemuning.!” kata raja dengan senang. Sejak itulah bunga kemuning mendapatkan namanya. Bahkan, bunga-bunga kemuning bisa digunakan untuk mengharumkan rambut. Batangnya dipakai untuk membuat kotak-kotak yang indah, sedangkan kulit kayunya dibuat orang menjadi bedak. Setelah mati pun, Puteri Kuning masih memberikan kebaikan.
Share: